Siapa
saja yang ingin menikahi seorang wanita, maka ia boleh melihat wanita itu dengan syarat tidak
berkhalwat dengannya. Jabir telah
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
"Apabila salah seorang diantara kalian ingin melamar
seorang wanita, maka jika ia mampu melihat kepada apa yang mendorongnya untuk
menikahinya, maka lakukanlah." Lalu
Jabir berkata: "Kemudian aku melamar seorang wanita yang sebelumnya aku
sering mengintipnya hingga melihat keadaannya yang mendorong diriki untuk menikahinya."
Ia diperbolehkan melihat wanita itu, baik dengan
seizinnya ataupun tidak, karena Nabi saw telah memerintahkan kita untuk melihat
secara mutlak. Juga dalam hadits Jabir
di atas terdapat lafadz ''yang sebelumnya aku sering mengintipnya''. Namun demikian ia tidak boleh berkhalwat dengan wanita
itu. Sebab, Rasulullah saw bersabda:
"Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari
Kemudian maka janganlah sekali-kali berkhalawat dengan seorang wanita yang
tidak disertai muhrimnya, karena yang ketiga diantara mereka adalah
setan."
Hadits ini adalah umum, tidak ada pengecualian
dalam hal ini termasuk terhadap pelamar, sebagaimana halnya pengecualian dalam
hal melihat wanita.
Ia diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak
tangan wanita itu, maupun selain wajah dan dua telapak tangannya. Sebab,
kebolehan melihat wajah dan dua telapak tangan wanita adalah umum mencakup
pelamar maupun yang bukan. Dengan adanya
pengecualian bagi para pelamar, maka pengecualian tersebut tidak ada lain
selain menunjukkan kebolehan melihat selain wajah dan telapak tangan. Juga, karena Rasulullah saw pernah bersabda:
"Hendaklah ia melihat kepadanya"
Bentuk dari kalimat ini adalah umum mencakup
baik wajah dan kedua telapak tangan,
maupun selain dari pada itu dari bagian-bagian tubuh yang lazim untuk
diketahui, dengan maksud mengetahuinya untuk tujuan menikah, sehingga ia
melamarnya.
Selain dari itu Allah SWT telah memerintahkan kaum
mu'minin untuk menahan pandangan.
Sedangkan menahan pandangan berarti tidak adanya unsur kesengajaan baik
dari pihak laki-laki terhadap wanita maupun sebaliknya. Lalu datanglah hadits Jabir dengan
membolehkan bagi pelamar untuk melihat secara sengaja terhadap wanita. Maka
hadits ini berarti pengecualian terhadap menahan pandangan. Dengan kata lain kaum mu'minin diwajibkan
untuk menahan pandangan, kecuali bagi para pelamar. Sebab, mereka diperbolehkan
untuk tidak menahan pandangannya terhadap wanita yang ingin dilamarnya.
Suami-isteri
masing-masing diperbolehkan melihat seluruh tubuh pasangannya, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bahz Ibnu Hakim yang berasal dari Bapaknya, lalu
dari Kakeknya, ia berkata:
"Aku pernah bertanya: 'Wahai Rasulullah saw
manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami
biarkan?' Rasulullah bersabda kepadaku: 'Jagalah
auratmu kecuali terhadap isterimu atau terhadap hamba sahayamu."
Laki-laki diperbolehkan melihat wanita yang
termasuk muhrimnya, baik muslimah maupun bukan,
lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangannya dari bagian-bagian
tubuh yang menjadi tempat melekatnya perhiasan, tanpa dibatasi bagian-bagian
tubuh tertentu, karena adanya nash yang membolehkannya dan bersifat
mutlak. Allah berfirman SWT:
"(Dan) Janganlah para wanita itu menampakkan
perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki
yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita." (An
Nuur: 31)
Orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat,
seluruhnya diperbolehkan melihat wanita mulai dari rambut, leher, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, dan bagian-bagian lain yang lazim menjadi temppat
melekatkan perhiasan. Sebab, Allah SWT
berfirman ''Walaa Yubdiina ziinatahunna'' maksudnya adalah tempat-tempat melekatkan
perhiasannya, kecuali terhadap orang-orang yang telah disebutkan dalam
ayat. Sebab, mereka inilah yang boleh
melihat apa yang nampak pada saat berpakaian kerja, yaitu ketika wanita dalam
keadaan membuka baju luarnya.Imam Syafi'i dalam musnadnya meriwayatkan dari
Zainab binti Abi Salamah:
"Bahwasanya ia (Zainab) pernah disusui Asma
isteri Zubeir. Lalu ia berkata: Maka aku menganggapnya (Zubeir)
sebagai bapak. Pernah ia masuk sedangkan aku sedang menyisir rambutku, bahkan
kemudian memegang sebagian ikatan rambutku, lalu ia pun berkata: menghadaplah
kepadaku."
Diriwayatkan pula bahwasanya Abu Sufyan pernah
masuk rumah anaknya, yaitu Ummu Habibah yang menjadi isteri Rasulullah saw,
ketika memerlukan datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiah,
maka serta merta Ummu Habibah menggulung tikar Rasulullah saw agar Abu Sufyan
tidak mendudukinya, pada saat itu Ummu Habibah tidak berhijab. Dan semua itu ia ceritakan kepada Rasulullah
saw, dan ternyata belia pun menyetujuinya dan tidak memerintahkannya untuk
memakai hijab meskipun Abu Sufyan seorang musyrik, akan tetapi ia adalah
muhrimnya.
Adapun selain muhrim, pelamar dan suami maka dalam
hal ini dipertimbankan, apabila memang ada keperluan untuk melihatnya, baik
laki-laki melihat wanita atau sebaliknya, maka ia boleh melihat sebatas bagian
tubuh yang diperlukan. Ia tidak
diperbolehkan melihat bagian-bagian tubuh lain selain wajah dan kedua telapak
tangan. Orang-orang yang dapat melakukan
hal ini adalah dokter, paramedis,
pemeriksa atau yang terdesak keperluan harus melihat bagian tubuh itu, baik
termasuk aurat maupun bukan. Diriwayatkan bahwasanya Nabi saw ketika
mengangkat Sa'ad sebagai hakim (untuk kalangan) Bani Quraidhah, beliau
memerintahkan menyingkap penutup tubuh mereka."
Sebuah riwayat dari Utsman, bahwasanya pernah suatu
kali dihadapkan kepada beliau seorang anak kecil yang mencuri. Maka beliau
berkata: "Periksalah sarung yang melekat tubuhnya, maka mereka
mendapatinya belum tumbuh rambut, maka beliau pun tidak memotongnya.(?) Apa
yang dilakukan oleh Utsman ini dilihat dan didengar oleh para shahabat dan
tidak seorang pun diantara mereka mengingkarinya.
Lain halnya apabila tidak ada suatu kebutuhan, dan
dilakukan oleh orang yang bukan muhrim tetapi tidak memiliki keinginan
terhadap wanita, bagi mereka diperbolehkan untuk melihat wajah dan kedua
telapak tangan wanita, namun diharamkan atas mereka melihat selebihnya. Aisyah ra telah menceritakan bahwasanya Asma
binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka
Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata:
"Wahai asma sesungguhnya perempuan itu jika
telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini. sambil menunjuk telapak tangan dan
wajahnya."
Di dalam Al Quran Allah SWT telah mengecualikan
wajah dan telapak tangan dari larangan untuk menampakkan apa yang menjadi
perhiasan dari anggota tubuh wanita.
Firman Allah SWT:
"Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (QS An Nuur: 31)
Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai wajah dan dua
telapak tangan. Dengan demikian larangan
untuk kaum wanita menampakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan
auratnya. Larangan untuk menampakkannya
menunjukkan kepastian tentang larangan melihat apa yang terlarang bagi wanita
untuk menampakkannya. Sedangkan
pengecualian atas apa yang nampak dari apa yang dilarang untuk ditampakkan
merupakan pengecualian atas larangan melihatnya, dengan kata lain dibolehkan
melihatnya. Bagi laki-laki yang bukan
muhrim diperbolehkan memandang wajah dan dua telapak tangan wanita yang bukan
muhrimnya dengan pandangan yang memungkinkan ia mengetahui si wanita tersebut
dengan mata kepalanya sendiri agar menjadi saksi atasnya apabila diperlukan
penyaksian, dan ia akan kembali menemuinya apabila melakukan aktifitas dalam
jual beli atau aqad upah terhadap buruh/pegawai, agar ia meyakini wanita
tersebut apabila ia memberi hutang dan menunaikan pembayaran hutangnya atau
ada wanita lain yang menyerupainya dan sebagainya. Demikian pula halnya bagi seorang wanita
diperbolehkan melihat laki-laki selain auratnya, sebagaiman yang diriwayatkan
dari Aisyah yang berkata:
"Adalah Rasulullah saw. menutupiku dengan
kainnya sedangkan (waktu itu) saya melihat orang-orang Habsyah bermain (pedang)
di Masjid."
Pada saat Rasulullah saw. selesai berkhutbah di
hari Raya:
"Beliau mendatangi kaum wanita, sementara di
kalangan wanita menyebutkan bahwa beliau disertai Bilal. Beliau memerintahkan mereka untuk
bersedekah."
Hal ini menjelaskan persetujuan Rasulullah saw.
atas kaum wanita yang melihat laki-laki.
Adapun memandang selain aurat maka sesungguhnya pandangan Aisyar ra
terhadap orang-orang Habsyah sementara mereka bermain (pedang) menunjukkan
bahwasanya Aisyah melihat mereka atas seluruh apa yang nampak dari mereka
kecuali aurat. Tidak terdapat
taqyid/syarat yang mengikat dalam pandangan, akan tetapi dibiarkan bersifat
mutlak. Sebab Amru bin Syuaib meriwayatkan
dari bapaknya, dari kakeknya yang berkata telah bersabda Rasulullah saw.:
"Apabila diantara kamu menikahkan pembantu,
budak atau buruhmu maka janganlah kamu melihat kecuali apa yang selain antara
pusat dan diatas lututnya, karena (daerah) itu adalah aurat."
Dari hadits ini dipahami kebolehan melihat selain
dari kedua batas itu. Kebolehan ini
bersifat mutlak mencakup laki-laki dan wanita.
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ummu Salmah yang berkata:
"Aku pernah duduk di samping Nabi saw dan
Hafshah, lalu datanglah Ibnu Maktum meminta ijin. Kemudian Nabi saw memerintahkan kami mengenakan
hijab. Aku bertanya kepada beliau:
'Wahai Rasulullah dia itu buta, tidak dapat melihat.' Maka beliau bersabda: Apakah kalian
berdua yang buta dan tidak melihatnya?'.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan yang
lainnya dari riwayat Nabhan. Imam Nasa'i
berkata: 'Kami tidak mengetahui riwayat dari Nabhan kecuali dari Zahri. Imam Ibnu Abbdilbarr berkata: 'Nabhan adalah
majhul, tidak diketahui suatu riwayat kecuali Zahri mengenai hadits ini'. Riwayat yang majhul maka haditsnya Dla'if dan
tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan
apa yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah bahwasanya ia berkata:
"Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw
mengenai pandangan yang tiba-tiba, maka ia menyuruhku untuk memalingkan
pandanganku."
Dan apa yang diriwayatkan dari Ali ra seraya
berkata bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda kepadanya:
"Janganlah kamu mengikuti pandangan yang
pertama dengan pandangan yang kedua, pandangan yang pertama adalah untukmu
sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu."
Hadits ini adalah pandangan laki-laki terhadap
wanita dan bukan pandangan wanita terhadap laki-laki. Maksud hadits yang pertama adalah pandangan
kepada salain wajah dan kedua telapak tangan dengan alasan kebolehan melihat
keduanya. Sedangkan dalam hadits yang
kedua terdapat larangan untuk mengulang-ulang memandang yang dapat menyebabkan
munculnya syahwat, akan teetapi bukan larangan untuk memandang.
Mengenai firman Allah SWT:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: 'hendaklah mereka menahan pandangannya." (QS An Nur: 30)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah menundukkan
pandangan terhadap apa yang diharamkan dan membatasi/pengecualian terhadap apa
yang dihalalkan. Jadi bukan sama sekali
menundukkan pandangan dengan alasan bahwasanya Syari' telah menjelaskan bagi
para muhrim diperbolehkan melihat rambut, dada, payudara, anggota tubuh, betis
dan kakinya, sedangkan bagi yang bukan muhrim diperbolehkan melihat wajah dan
dua telapak tangan, sebab menundukkan pandangan adalah merendahkannya. Di dalam kamus diartikan sebagai:
(------------------------)
Dari penjelasan ini menunjukkan kebolehan bagi
laki-laki memandang wanita atau sebaliknya wanita memandang laki-laki, kecuali
auratnya dengan maksud bukan untuk mendaptkan kenikmatan. Aurat laki-laki adalah apa yang berada di
antara pusat dan lututnya, sedangkan aurat wanita adalah seluruh anggota
tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Punggungnya adalah aurat, rambutnya juga
aurat meskipun cuma selembar, bagi orang yang bukan muhrim rambut wanita
dilihat dari sisi manapun adalah aurat.
Seluruh (tubuh) apa yang dikecualikan, berupa wajah dan dua telapak
tangan adalah aurat yang wajib ditutup.
Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
"Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nur: 31)
Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya
adalah wajah dan dua telapak tangan.
Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan
muslimah di hadapan Nabi saw sedangakan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak
dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat.
Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah saw., yaitu di
masa masih turunnya ayat Al Quran. Di
samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh
wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda
Rasulullah saw.:
"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah
aurat."
"Apabila seorang wanita telah baligh maka
tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan selain ini
digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak
tangan yang lainnya."
Nabi saw berkata kepada Asma binti Abu Bakar:
"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu
apabila telah baligh (haidl) maka tidak pantas baginya menampakkan tubuhnya
kecuali ini dan ini seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya."
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas
bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak
tangannya. Maka diwjibkan atas wanita
untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya.
Adapun dengan apa menutupinya, maka disini syara
tidak menentukan (bentuk/model) pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan
tetapi dibiarkan mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan
lafadz dalam firmanNya:
(-------------------------------------) yaitu tidak menampakkan aurat. Sedangkan lafadz-lafadz (------------),
(------------) dan (-------------------) yaitu pakaian yang menutupi seluruh
auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi walau bagaimanapun
bentuknya. Dengan mengenakan kain yang
panjang juga dapat menutupi, begitu pula celanan panjang, rok dan kaos juga
dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis
pakaian tidak ditentukan oelha syara.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat
menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup
bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis maupun macamnya.
Namun demikian Syari' telah mensyaratkan dalam
berpakaian agar pakaian yang dapat menutupi kulit luar. Maka diwajibkan untuk menutupi kulit luar,
atau kulit, baik yang berwarna putih, merah, coklat atau hitam dan lain-lain,
dengan kata lain kain penutup itu harus menutupi warna kulit sehingga warnanya
tidak diketahui. Jika tidak demikian
maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh
karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna
kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka
kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat. Dan menampakkan warna kulit itu dianggap
tidak menutup aurat, karena secara syara menutup tidak sempurna, kecuali menutupi
kulit berikut warnanya. Mengenai dalil
bahwasanya Syar'i telah mewajibkan menutupi kulit luar atau menutupi kulit
sehingga tidak diketahui warnanya sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah ra
bahwasanya Ama binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian
tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda:
"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu
apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya
kecuali ini dan ini."
Maka Rasulullah saw. menganggap dengan tipisnya
kain itu tidak dianggap menutupi aurat, amlah dianggap menyingkapkan
aurat. Oleh karena itu lalu Nabi saw
berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian
yang dapat menutupi . Alasan mengenai
masalah ini juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai
oleh Nabi saw tentang kain tipis maka dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah
mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam
kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk
tubuhnya."
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain
tipis. Oleh karena itu tatkala
Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain
tipis, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak
kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau
bersabda: "Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain
tipis." Sedangkan 'illatnya adalah
sabda belau "sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk
tubuhnya"., yaitu sebagaiman acermin yang memantulkan sesuatu yang ada
dibelakannya, dengan kata lain khawatir kalau-kalau nampak warna kulit
tubuhnya. Sebab lafadz (-----------)
memiliki makna menggambarkan dan menampakkan apa yang ada di balik itu, atau
menampakkan apa yang ada di belakanya seperti halnya cermin yang memantulkan
apa yang ada di hadapannya. Lafadz
(-----------) berasal dair kata (_-----).
Dan tidak bisa dikatakan (-------------) kecuali tampak 'tergambar' di
hadapannya, bukan dengan kata (-----).
Jadi khawatir akan tergambar lekuk daging tubuhnya, maka yang dimaksud
adalah warnanya bukan bentuknya. Dengan
demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya
Syari' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat
menutupi kulit dan tidak tergambar di baliknya. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita
untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis yaitu tidak tergambar
apa yang ada di belakang maupun depannya.
Inilah topik mengenai pentutp aurat, dan topik ini
tidak layak disamakan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan juga
bukan memamerkan sebagaian dari pakaian-pakaian itu. Di sini tidak berarti pula bahwa jika telah
mengenakan pakaian yang menutupi aurat maka dibolehkan bagi wanita yang
mengenakan pakaian itu berjalan di jalanan umum. Sebab untuk berjalan di jalanan umum terdapat
pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara. Jadi tidaklah cukup hanya dengan menutupi
aurat, seperti misalnya celana panjang yang tidak boleh dikenakan di jalanan
umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Dengan demikian tidak layak mengenakan
pakaian jenis itu dalam kehidupan umum, yaitu tidak boleh mengenakan pakaian
dalam rumah di jalanan umum, karena untuk keadaan seperti di jalanan umum
terdapat pakaian tertentu yang diwajibkan syara untuk memakainya. Apabila bertentangan dengan perintah syara,
dan mengenakan pakaian yang jenisnya bertentangan dengan apa yang telah
ditentukan syara berarti terjerumus dalam dosa, karena telah mengabaikan salah
satu kewajiban dari berbagai kewajiban syara.
Oleh karena itu tidak boleh mencampurkan topik penutup aurat dengan
topik pakaian wanita dalam kehidupan umum.
Begitu pula tidak boleh mencampuradukkan topik pakaian wanita dalam
kehidupan umum. Begitu pula tidak boleh
mencampuradukkan topik menutupi aurat dengan topik tabarruj. Maka mengenakan celana panjang yang dapat
menutupi aurat meskipun tidak tipis tidak berarti kemudian boleh dipakai dihadapan
laki-laki yang bukan muhrim sementara ia menampakkan kecantikannya dan membuka
perhiasannya. Oleh karena itu walaupun
ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan
tabarruj dilarang oleh syara, kendati si wanita itu menutupi auratnya. Keberadaan seorang wanita yang telah menutupi
auratnya bekanlah berarti dengan keadaannya yang sudah menutupi aurat tidak
dianggap tabarruj. Berdasarkan hal ini
maka tidak boleh mencampurkan topik menutupi aurat dengan topik tabarruj,
karena keduanya berlainan.
Adapun pakaian wanita dalam kehidupan umum yaitu
pakaian mereka di jalanan umum atau di pasar-pasar, maka Syari' telah
mewajibkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian luar apabila keluar (rumah)
menuju pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum. Diwajibkan atas mereka mengenakan kain
terusan (dari kepala sampai bawah) yang dikenakan di bagian luar (pakaian
dalamnya) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Apabila ia tidak memilikinya hendaklah ia
meminjam kepda tetangganya, temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak mampu meminjam atau tidak
dipinjamkan maka tidak dibenarkan ia keluar (rumah) tanpa kain tersebut. Bila ia keluar tanpa mengenakan pakaian luar
maka ia berdosa karena telah mengabaikan salah satu dari kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT terhadap mereka.
ini dilihat dari jenis pakaian bawah maupun atas dari wanita maka harus
mengenakan kerudung atau apa saja yang serupa dan berfungsi seperti pakaian
untuk menutupi seluruh kepala, punggung dan ujung kain ini di atas dada. Pakaian jenis ini yang khusus dikenakan jika
hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum, dengan
kata lain pakaian yang layak untuk kehidupan umum. Apabila ia telah mengenakan kedua jenis
pakaian ini dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan
melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua
jenis pakaian ini maka tidak boleh keluar dalam keadaan apapun, sebab perintah
yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, maka
tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan.
Karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis
pakaian ini karena firman Allah SWT mengenai pakaian (bagian) atas.
"Hendaklah mereka mentutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya." (QS An Nur: 31)
Dan firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah:
"Wahai Nabi saw katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya." (QS Al
Ahzab: 59)
Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata:
"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar
keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik
ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawn. Adapun bagi orang-orang yang haidl maka
menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum
muslimin. Lalu aku berkata: Wahai
Rasulullah saw. salah seorang di antara kami tidak memiliki jilab. Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah
saudaranya itu meinjamkan jilbabnya."
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu
petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini
dengan dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan
dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Mengenai pakaian wanita di bagian atas Allah
SWT berfirman:
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya." (QS An Nur: 31)
Yang dimaksud hendaknya wanita itu menghamparkan
kain penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar leher dan dadanya
tersembunyi dari lipatan pakaian dalam dan pakaian luarnya. MELIHAT
WANITA
Siapa
saja yang ingin menikahi seorang wanita, maka ia boleh melihat wanita itu dengan syarat tidak
berkhalwat dengannya. Jabir telah
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
"Apabila salah seorang diantara kalian ingin
melamar seorang wanita, maka jika ia mampu melihat kepada apa yang mendorongnya
untuk menikahinya, maka lakukanlah."
Lalu Jabir berkata: "Kemudian aku melamar seorang wanita yang
sebelumnya aku sering mengintipnya hingga melihat keadaannya yang mendorong
diriki untuk menikahinya."
Ia diperbolehkan melihat wanita itu, baik dengan
seizinnya ataupun tidak, karena Nabi saw telah memerintahkan kita untuk melihat
secara mutlak. Juga dalam hadits Jabir
di atas terdapat lafadz ''yang sebelumnya aku sering mengintipnya''. Namun demikian ia tidak boleh berkhalwat dengan wanita
itu. Sebab, Rasulullah saw bersabda:
"Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari
Kemudian maka janganlah sekali-kali berkhalawat dengan seorang wanita yang
tidak disertai muhrimnya, karena yang ketiga diantara mereka adalah
setan."
Hadits ini adalah umum, tidak ada pengecualian
dalam hal ini termasuk terhadap pelamar, sebagaimana halnya pengecualian dalam
hal melihat wanita.
Ia diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak
tangan wanita itu, maupun selain wajah dan dua telapak tangannya. Sebab,
kebolehan melihat wajah dan dua telapak tangan wanita adalah umum mencakup
pelamar maupun yang bukan. Dengan adanya
pengecualian bagi para pelamar, maka pengecualian tersebut tidak ada lain
selain menunjukkan kebolehan melihat selain wajah dan telapak tangan. Juga, karena Rasulullah saw pernah bersabda:
"Hendaklah ia melihat kepadanya"
Bentuk dari kalimat ini adalah umum mencakup
baik wajah dan kedua telapak tangan,
maupun selain dari pada itu dari bagian-bagian tubuh yang lazim untuk
diketahui, dengan maksud mengetahuinya untuk tujuan menikah, sehingga ia
melamarnya.
Selain dari itu Allah SWT telah memerintahkan kaum
mu'minin untuk menahan pandangan.
Sedangkan menahan pandangan berarti tidak adanya unsur kesengajaan baik
dari pihak laki-laki terhadap wanita maupun sebaliknya. Lalu datanglah hadits Jabir dengan
membolehkan bagi pelamar untuk melihat secara sengaja terhadap wanita. Maka
hadits ini berarti pengecualian terhadap menahan pandangan. Dengan kata lain kaum mu'minin diwajibkan
untuk menahan pandangan, kecuali bagi para pelamar. Sebab, mereka diperbolehkan
untuk tidak menahan pandangannya terhadap wanita yang ingin dilamarnya.
Suami-isteri
masing-masing diperbolehkan melihat seluruh tubuh pasangannya, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Bahz Ibnu Hakim yang berasal dari Bapaknya, lalu
dari Kakeknya, ia berkata:
"Aku pernah bertanya: 'Wahai Rasulullah saw
manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?' Rasulullah bersabda kepadaku: 'Jagalah
auratmu kecuali terhadap isterimu atau terhadap hamba sahayamu."
Laki-laki diperbolehkan melihat wanita yang
termasuk muhrimnya, baik muslimah maupun bukan,
lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangannya dari bagian-bagian
tubuh yang menjadi tempat melekatnya perhiasan, tanpa dibatasi bagian-bagian
tubuh tertentu, karena adanya nash yang membolehkannya dan bersifat
mutlak. Allah berfirman SWT:
"(Dan) Janganlah para wanita itu menampakkan
perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki
yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita." (An
Nuur: 31)
Orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat,
seluruhnya diperbolehkan melihat wanita mulai dari rambut, leher, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, dan bagian-bagian lain yang lazim menjadi temppat
melekatkan perhiasan. Sebab, Allah SWT
berfirman ''Walaa Yubdiina ziinatahunna'' maksudnya adalah tempat-tempat melekatkan
perhiasannya, kecuali terhadap orang-orang yang telah disebutkan dalam
ayat. Sebab, mereka inilah yang boleh
melihat apa yang nampak pada saat berpakaian kerja, yaitu ketika wanita dalam
keadaan membuka baju luarnya.Imam Syafi'i dalam musnadnya meriwayatkan dari
Zainab binti Abi Salamah:
"Bahwasanya ia (Zainab) pernah disusui Asma
isteri Zubeir. Lalu ia berkata: Maka aku menganggapnya (Zubeir)
sebagai bapak. Pernah ia masuk sedangkan aku sedang menyisir rambutku, bahkan
kemudian memegang sebagian ikatan rambutku, lalu ia pun berkata: menghadaplah
kepadaku."
Diriwayatkan pula bahwasanya Abu Sufyan pernah
masuk rumah anaknya, yaitu Ummu Habibah yang menjadi isteri Rasulullah saw,
ketika memerlukan datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiah,
maka serta merta Ummu Habibah menggulung tikar Rasulullah saw agar Abu Sufyan
tidak mendudukinya, pada saat itu Ummu Habibah tidak berhijab. Dan semua itu ia ceritakan kepada Rasulullah
saw, dan ternyata belia pun menyetujuinya dan tidak memerintahkannya untuk
memakai hijab meskipun Abu Sufyan seorang musyrik, akan tetapi ia adalah
muhrimnya.
Adapun selain muhrim, pelamar dan suami maka dalam
hal ini dipertimbankan, apabila memang ada keperluan untuk melihatnya, baik
laki-laki melihat wanita atau sebaliknya, maka ia boleh melihat sebatas bagian
tubuh yang diperlukan. Ia tidak
diperbolehkan melihat bagian-bagian tubuh lain selain wajah dan kedua telapak
tangan. Orang-orang yang dapat melakukan
hal ini adalah dokter, paramedis,
pemeriksa atau yang terdesak keperluan harus melihat bagian tubuh itu, baik
termasuk aurat maupun bukan. Diriwayatkan bahwasanya Nabi saw ketika
mengangkat Sa'ad sebagai hakim (untuk kalangan) Bani Quraidhah, beliau
memerintahkan menyingkap penutup tubuh mereka."
Sebuah riwayat dari Utsman, bahwasanya pernah suatu
kali dihadapkan kepada beliau seorang anak kecil yang mencuri. Maka beliau
berkata: "Periksalah sarung yang melekat tubuhnya, maka mereka
mendapatinya belum tumbuh rambut, maka beliau pun tidak memotongnya.(?) Apa
yang dilakukan oleh Utsman ini dilihat dan didengar oleh para shahabat dan
tidak seorang pun diantara mereka mengingkarinya.
Lain halnya apabila tidak ada suatu kebutuhan, dan
dilakukan oleh orang yang bukan muhrim tetapi tidak memiliki keinginan
terhadap wanita, bagi mereka diperbolehkan untuk melihat wajah dan kedua
telapak tangan wanita, namun diharamkan atas mereka melihat selebihnya. Aisyah ra telah menceritakan bahwasanya Asma
binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka
Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata:
"Wahai asma sesungguhnya perempuan itu jika
telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini. sambil menunjuk telapak tangan dan
wajahnya."
Di dalam Al Quran Allah SWT telah mengecualikan
wajah dan telapak tangan dari larangan untuk menampakkan apa yang menjadi
perhiasan dari anggota tubuh wanita.
Firman Allah SWT:
"Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (QS An Nuur: 31)
Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai wajah dan dua
telapak tangan. Dengan demikian larangan
untuk kaum wanita menampakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan
auratnya. Larangan untuk menampakkannya
menunjukkan kepastian tentang larangan melihat apa yang terlarang bagi wanita
untuk menampakkannya. Sedangkan
pengecualian atas apa yang nampak dari apa yang dilarang untuk ditampakkan
merupakan pengecualian atas larangan melihatnya, dengan kata lain dibolehkan
melihatnya. Bagi laki-laki yang bukan
muhrim diperbolehkan memandang wajah dan dua telapak tangan wanita yang bukan
muhrimnya dengan pandangan yang memungkinkan ia mengetahui si wanita tersebut
dengan mata kepalanya sendiri agar menjadi saksi atasnya apabila diperlukan
penyaksian, dan ia akan kembali menemuinya apabila melakukan aktifitas dalam
jual beli atau aqad upah terhadap buruh/pegawai, agar ia meyakini wanita
tersebut apabila ia memberi hutang dan menunaikan pembayaran hutangnya atau
ada wanita lain yang menyerupainya dan sebagainya. Demikian pula halnya bagi seorang wanita
diperbolehkan melihat laki-laki selain auratnya, sebagaiman yang diriwayatkan
dari Aisyah yang berkata:
"Adalah Rasulullah saw. menutupiku dengan
kainnya sedangkan (waktu itu) saya melihat orang-orang Habsyah bermain (pedang)
di Masjid."
Pada saat Rasulullah saw. selesai berkhutbah di
hari Raya:
"Beliau mendatangi kaum wanita, sementara di
kalangan wanita menyebutkan bahwa beliau disertai Bilal. Beliau memerintahkan mereka untuk
bersedekah."
Hal ini menjelaskan persetujuan Rasulullah saw.
atas kaum wanita yang melihat laki-laki.
Adapun memandang selain aurat maka sesungguhnya pandangan Aisyar ra
terhadap orang-orang Habsyah sementara mereka bermain (pedang) menunjukkan
bahwasanya Aisyah melihat mereka atas seluruh apa yang nampak dari mereka
kecuali aurat. Tidak terdapat
taqyid/syarat yang mengikat dalam pandangan, akan tetapi dibiarkan bersifat
mutlak. Sebab Amru bin Syuaib meriwayatkan
dari bapaknya, dari kakeknya yang berkata telah bersabda Rasulullah saw.:
"Apabila diantara kamu menikahkan pembantu,
budak atau buruhmu maka janganlah kamu melihat kecuali apa yang selain antara
pusat dan diatas lututnya, karena (daerah) itu adalah aurat."
Dari hadits ini dipahami kebolehan melihat selain
dari kedua batas itu. Kebolehan ini
bersifat mutlak mencakup laki-laki dan wanita.
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ummu Salmah yang berkata:
"Aku pernah duduk di samping Nabi saw dan
Hafshah, lalu datanglah Ibnu Maktum meminta ijin. Kemudian Nabi saw memerintahkan kami mengenakan
hijab. Aku bertanya kepada beliau:
'Wahai Rasulullah dia itu buta, tidak dapat melihat.' Maka beliau bersabda: Apakah kalian
berdua yang buta dan tidak melihatnya?'.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan yang
lainnya dari riwayat Nabhan. Imam Nasa'i
berkata: 'Kami tidak mengetahui riwayat dari Nabhan kecuali dari Zahri. Imam Ibnu Abbdilbarr berkata: 'Nabhan adalah
majhul, tidak diketahui suatu riwayat kecuali Zahri mengenai hadits ini'. Riwayat yang majhul maka haditsnya Dla'if dan
tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan
apa yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah bahwasanya ia berkata:
"Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw
mengenai pandangan yang tiba-tiba, maka ia menyuruhku untuk memalingkan
pandanganku."
Dan apa yang diriwayatkan dari Ali ra seraya
berkata bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda kepadanya:
"Janganlah kamu mengikuti pandangan yang
pertama dengan pandangan yang kedua, pandangan yang pertama adalah untukmu
sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu."
Hadits ini adalah pandangan laki-laki terhadap
wanita dan bukan pandangan wanita terhadap laki-laki. Maksud hadits yang pertama adalah pandangan
kepada salain wajah dan kedua telapak tangan dengan alasan kebolehan melihat
keduanya. Sedangkan dalam hadits yang
kedua terdapat larangan untuk mengulang-ulang memandang yang dapat menyebabkan
munculnya syahwat, akan teetapi bukan larangan untuk memandang.
Mengenai firman Allah SWT:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: 'hendaklah mereka menahan pandangannya." (QS An Nur: 30)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah menundukkan
pandangan terhadap apa yang diharamkan dan membatasi/pengecualian terhadap apa
yang dihalalkan. Jadi bukan sama sekali
menundukkan pandangan dengan alasan bahwasanya Syari' telah menjelaskan bagi
para muhrim diperbolehkan melihat rambut, dada, payudara, anggota tubuh, betis
dan kakinya, sedangkan bagi yang bukan muhrim diperbolehkan melihat wajah dan
dua telapak tangan, sebab menundukkan pandangan adalah merendahkannya. Di dalam kamus diartikan sebagai:
(------------------------)
Dari penjelasan ini menunjukkan kebolehan bagi
laki-laki memandang wanita atau sebaliknya wanita memandang laki-laki, kecuali
auratnya dengan maksud bukan untuk mendaptkan kenikmatan. Aurat laki-laki adalah apa yang berada di
antara pusat dan lututnya, sedangkan aurat wanita adalah seluruh anggota
tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Punggungnya adalah aurat, rambutnya juga
aurat meskipun cuma selembar, bagi orang yang bukan muhrim rambut wanita
dilihat dari sisi manapun adalah aurat.
Seluruh (tubuh) apa yang dikecualikan, berupa wajah dan dua telapak
tangan adalah aurat yang wajib ditutup.
Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
"Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nur: 31)
Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya
adalah wajah dan dua telapak tangan.
Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan
muslimah di hadapan Nabi saw sedangakan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak
dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat.
Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah saw., yaitu di
masa masih turunnya ayat Al Quran. Di
samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh
wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda
Rasulullah saw.:
"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah
aurat."
"Apabila seorang wanita telah baligh maka
tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan selain ini
digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak
tangan yang lainnya."
Nabi saw berkata kepada Asma binti Abu Bakar:
"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu
apabila telah baligh (haidl) maka tidak pantas baginya menampakkan tubuhnya
kecuali ini dan ini seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya."
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas
bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak
tangannya. Maka diwjibkan atas wanita
untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya.
Adapun dengan apa menutupinya, maka disini syara
tidak menentukan (bentuk/model) pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan
tetapi dibiarkan mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan
lafadz dalam firmanNya:
(-------------------------------------) yaitu tidak menampakkan aurat. Sedangkan lafadz-lafadz (------------),
(------------) dan (-------------------) yaitu pakaian yang menutupi seluruh
auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi walau bagaimanapun
bentuknya. Dengan mengenakan kain yang
panjang juga dapat menutupi, begitu pula celanan panjang, rok dan kaos juga
dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis
pakaian tidak ditentukan oelha syara.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat
menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup
bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis maupun macamnya.
Namun demikian Syari' telah mensyaratkan dalam
berpakaian agar pakaian yang dapat menutupi kulit luar. Maka diwajibkan untuk menutupi kulit luar,
atau kulit, baik yang berwarna putih, merah, coklat atau hitam dan lain-lain,
dengan kata lain kain penutup itu harus menutupi warna kulit sehingga warnanya
tidak diketahui. Jika tidak demikian
maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh
karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna
kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka
kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat. Dan menampakkan warna kulit itu dianggap
tidak menutup aurat, karena secara syara menutup tidak sempurna, kecuali menutupi
kulit berikut warnanya. Mengenai dalil
bahwasanya Syar'i telah mewajibkan menutupi kulit luar atau menutupi kulit
sehingga tidak diketahui warnanya sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah ra
bahwasanya Ama binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian
tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda:
"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu
apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya
kecuali ini dan ini."
Maka Rasulullah saw. menganggap dengan tipisnya
kain itu tidak dianggap menutupi aurat, amlah dianggap menyingkapkan
aurat. Oleh karena itu lalu Nabi saw
berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian
yang dapat menutupi . Alasan mengenai
masalah ini juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai
oleh Nabi saw tentang kain tipis maka dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah
mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam
kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk
tubuhnya."
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain
tipis. Oleh karena itu tatkala
Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain
tipis, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak
kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau
bersabda: "Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain
tipis." Sedangkan 'illatnya adalah
sabda belau "sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk
tubuhnya"., yaitu sebagaiman acermin yang memantulkan sesuatu yang ada
dibelakannya, dengan kata lain khawatir kalau-kalau nampak warna kulit
tubuhnya. Sebab lafadz (-----------)
memiliki makna menggambarkan dan menampakkan apa yang ada di balik itu, atau
menampakkan apa yang ada di belakanya seperti halnya cermin yang memantulkan
apa yang ada di hadapannya. Lafadz
(-----------) berasal dair kata (_-----).
Dan tidak bisa dikatakan (-------------) kecuali tampak 'tergambar' di
hadapannya, bukan dengan kata (-----).
Jadi khawatir akan tergambar lekuk daging tubuhnya, maka yang dimaksud
adalah warnanya bukan bentuknya. Dengan
demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya
Syari' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat
menutupi kulit dan tidak tergambar di baliknya. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita
untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis yaitu tidak tergambar
apa yang ada di belakang maupun depannya.
Inilah topik mengenai pentutp aurat, dan topik ini
tidak layak disamakan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan juga
bukan memamerkan sebagaian dari pakaian-pakaian itu. Di sini tidak berarti pula bahwa jika telah
mengenakan pakaian yang menutupi aurat maka dibolehkan bagi wanita yang
mengenakan pakaian itu berjalan di jalanan umum. Sebab untuk berjalan di jalanan umum terdapat
pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara. Jadi tidaklah cukup hanya dengan menutupi
aurat, seperti misalnya celana panjang yang tidak boleh dikenakan di jalanan
umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Dengan demikian tidak layak mengenakan
pakaian jenis itu dalam kehidupan umum, yaitu tidak boleh mengenakan pakaian
dalam rumah di jalanan umum, karena untuk keadaan seperti di jalanan umum
terdapat pakaian tertentu yang diwajibkan syara untuk memakainya. Apabila bertentangan dengan perintah syara,
dan mengenakan pakaian yang jenisnya bertentangan dengan apa yang telah
ditentukan syara berarti terjerumus dalam dosa, karena telah mengabaikan salah
satu kewajiban dari berbagai kewajiban syara.
Oleh karena itu tidak boleh mencampurkan topik penutup aurat dengan
topik pakaian wanita dalam kehidupan umum.
Begitu pula tidak boleh mencampuradukkan topik pakaian wanita dalam
kehidupan umum. Begitu pula tidak boleh
mencampuradukkan topik menutupi aurat dengan topik tabarruj. Maka mengenakan celana panjang yang dapat
menutupi aurat meskipun tidak tipis tidak berarti kemudian boleh dipakai dihadapan
laki-laki yang bukan muhrim sementara ia menampakkan kecantikannya dan membuka
perhiasannya. Oleh karena itu walaupun
ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan
tabarruj dilarang oleh syara, kendati si wanita itu menutupi auratnya. Keberadaan seorang wanita yang telah menutupi
auratnya bekanlah berarti dengan keadaannya yang sudah menutupi aurat tidak
dianggap tabarruj. Berdasarkan hal ini
maka tidak boleh mencampurkan topik menutupi aurat dengan topik tabarruj,
karena keduanya berlainan.
Adapun pakaian wanita dalam kehidupan umum yaitu
pakaian mereka di jalanan umum atau di pasar-pasar, maka Syari' telah
mewajibkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian luar apabila keluar (rumah)
menuju pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum. Diwajibkan atas mereka mengenakan kain
terusan (dari kepala sampai bawah) yang dikenakan di bagian luar (pakaian
dalamnya) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Apabila ia tidak memilikinya hendaklah ia
meminjam kepda tetangganya, temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak mampu meminjam atau tidak
dipinjamkan maka tidak dibenarkan ia keluar (rumah) tanpa kain tersebut. Bila ia keluar tanpa mengenakan pakaian luar
maka ia berdosa karena telah mengabaikan salah satu dari kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT terhadap mereka.
ini dilihat dari jenis pakaian bawah maupun atas dari wanita maka harus
mengenakan kerudung atau apa saja yang serupa dan berfungsi seperti pakaian
untuk menutupi seluruh kepala, punggung dan ujung kain ini di atas dada. Pakaian jenis ini yang khusus dikenakan jika
hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum, dengan
kata lain pakaian yang layak untuk kehidupan umum. Apabila ia telah mengenakan kedua jenis
pakaian ini dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan
melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua
jenis pakaian ini maka tidak boleh keluar dalam keadaan apapun, sebab perintah
yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, maka
tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan.
Karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis
pakaian ini karena firman Allah SWT mengenai pakaian (bagian) atas.
"Hendaklah mereka mentutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya." (QS An Nur: 31)
Dan firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah:
"Wahai Nabi saw katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya." (QS
Al Ahzab: 59)
Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata:
"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar
keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik
ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawn. Adapun bagi orang-orang yang haidl maka
menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum
muslimin. Lalu aku berkata: Wahai
Rasulullah saw. salah seorang di antara kami tidak memiliki jilab. Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah
saudaranya itu meinjamkan jilbabnya."
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu
petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini
dengan dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan
dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Mengenai pakaian wanita di bagian atas Allah
SWT berfirman:
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya." (QS An Nur: 31)
Yang dimaksud hendaknya wanita itu menghamparkan
kain penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar leher dan dadanya
tersembunyi dari lipatan pakaian dalam dan pakaian luarnya.