Pasal-Pasal Memalak Rakyat



Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan isi UU ini jelas membebani rakyat dan tidak sesuai konstitusi.
Si Oneng—Rieke Diah Pitoloka—bilang bahwa jika UU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) maka seluruh rakyat Indonesia akan menerima lima jaminan, yakni kesehatan, kecelakaan, hari tua, pensiun dan kematian. Masyarakat juga akan mendapatkan penyuluhan, KB, rawat inap, rawat jalan, obat, sampai cuci darah dan operasi jantung. Semuanya gratis.
Siapa yang tidak kesengsem dengan janji manis anggota DPR Komisi IX itu. Terbayang nikmatnya diberikan segala macam jaminan sosial tersebut oleh negara. Tapi jangan senang dulu.
UU BPJS justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Tidak semua rakyat akan dijamin oleh negara. Hanya mereka yang bisa membayar premi saja yang akan mendapatkan layanan. Lho kok bayar premi? Iya, memang menurut UU tersebut yang dimaksud dengan jaminan sosial ini adalah asuransi.
Bab I Pasal 1 menjawab itu semua, ayat (3) Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran  manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Juga ayat (4) Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Berapa besarnya iuran? Menurut draft Peraturan Pemerintah (PP) yang disiapkan, ada tiga kategori pembayaran yakni Rp 22.500 bagi layanan rumah sakit kelas 3, Rp 40.000 untuk layanan kelas 2, dan Rp 50.000 untuk layanan kelas satu. Iuran itu dibayarkan setiap bulan.
Hanya rakyat miskin yang ditanggung pemerintah. Tapi miskin ini pun harus sesuai kriteria BPS yakni yang memiliki penghasilan Rp 233.000 per kapita per bulan. Kalau lebih dari itu, jangan berharap mendapat layanan kesehatan dari pemerintah jika tidak membayar premi asuransi.
Bahkan, jumlah yang dilayani oleh jaminan pemerintah ini pun terbatas. Tidak semua layanan kesehatan bisa digratiskan. Ada plafonnya. Kalau melebihi plafon, rakyat miskin harus bayar sendiri kelebihannya.
Maka pernyataan Oneng lainnya bahwa “Dengan SJSN, selama ada di wilayah Indonesia, setiap orang, kapan pun, di mana pun sakit, tidak boleh ditolak RS, sebagaimana sering terjadi saat ini” hanyalah janji-janji surga. Nyatanya, hanya mereka yang membayar dan dibayari pemerintah (orang miskin) saja yang bisa mendapatkan hal itu.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan isi UU ini jelas membebani rakyat dan tidak sesuai konstitusi. Ada perbedaan yang nyata antara jaminan sosial dan bayar premi asuransi. Menurutnya, jaminan sosial itu kewajiban pemerintah, sementara iuran atau premi itu kewajiban peserta asuransi kepada perusahaan asuransi. “Nanti yang untung besar kan perusahaan asuransi, rakyat yang sakit, ya bayar-bayar juga,” katanya.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia menilai  UU ini telah mengalihkan tanggung jawab negara dalam pelayanan publik kepada rakyatnya. Dalam penjelasan UU SJSN disebutkan bawah maksud dari prinsip gotong royong dalam UU tersebut adalah peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.
Menurutnya, ini merupakan watak negara kapitalis yang mengomersilkan berbagai pelayanan publik. Selain itu, falsafah asuransi ini bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh negara–yang dananya berasal dari orang-orang yang dianggap mampu–hanyalah orang miskin saja. Padahal pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain.
Berdasarkan UU BPJS, badan ini memang berfungsi layaknya perusahaan asuransi. Badan ini berhak memungut dan mengelola dana itu. Lebih dari itu, badan itu memiliki kewenangan yang sangat besar. Badan publik ini bisa menjatuhkan sanksi kepada peserta yang tidak membayar premi jaminan sosialnya baik itu perusahaan maupun perorangan. Wewenang ini jauh lebih besar dibandingkan perusahaan asuransi swasta yang ada.
Karenanya, BPJS ini berwenang menentukan siapa yang berhak dilayani atau tidak oleh instansi kesehatan. Bukankah ini sama persis dengan perusahaan asuransi konvensional yang ada? Malah dengan wewenang menjatuhkan sanksi dan memaksa, ini adalah perusahaan asuransi plus.
Tak heran banyak pihak menyebut ini adalah pemalakan. Setelah negara melepaskan diri dari tanggung jawabnya, negara menyerahkan kepada rakyatnya, dan kemudian memaksa rakyat membayar kepada perusahaan publik.
Anehnya, ketika rakyat boleh dipaksa untuk membayar premi, tapi tidak demikian dengan BPJS. Menurut BAB XI Pasal 47:BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan mengenai kepailitan.   Padahal, pemailitan bisa menjadi jalan kepada BPJS untuk mengeluarkan tanggungan dana bagi peserta yang tidak dilayani sesuai perjanjian. Berdasarkan ketentuan UU itu, kalau ada kasus, penyelesaiannya melalui mediasi. Jika mediasi mentok maka peserta bisa mengadukan hal tersebut ke pengadilan. Tapi tidak boleh mempailitkan.
UU itu juga memberikan kewenangan yang besar bagi BPJS untuk menginvestasikan dana milik peserta baik untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dalam bentuk portfolio investasi seperti saham, obligasi, deposito perbankan, dan sebagainya. Padahal investasi sendiri bersifat tidak pasti, bisa untung atau rugi. Jika terjadi kerugian maka bebannya akan kembali kepada rakyat. Namun, berdasarkan UU itu, jika perusahaan itu rugi karena investasi atau lainnya, pemerintah menalangi kerugian tersebut (bailout). Apa ini tidak menyakiti rakyat?

Sanksi Gila!!!

UU BPJS ini mewajibkan seluruh masyarakat mengikuti program jaminan sosial ini. Di pasal 16 disebutkan, “setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”
Sudah dipaksa jadi peserta, kalau tidak membayar premi maka akan terkena sanksi. Ada tiga jenis sanksi yakni teguran, denda, dan/atau tidak mendapatkan layanan publik. Apa bentuk layanan publik? Penjelasan UU ini yang dimaksud: “pelayanan publik tertentu” antara lain pemrosesan izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan. Itu baru ‘antara lain’, bisa saja yang lain. Walhasil melalui mekanisme sanksi ini rakyat terpaksa harus membayar premi jika tidak mau layanan negara kepadanya dihilangkan. “Ini gila,” kata jubir HTI Ismail Yusanto.
Nah, pengenaan sanksi itu tidak dilakukan sendiri oleh BPJS. Tapi menurut UU itu, BPJS bisa meminta pemerintah maupun pemerintah daerah untuk menjatuhkan sanksi. Dari sini kian terlihat, BPJS menjadi lembaga yang lebih tinggi dari pemerintah dan pemerintah daerah karena bisa memerintahkan negara untuk kepentingannya.  (mediaumat.com, 12/12)