Asing di Balik UU SJSN dan BPJS!


Walaupun banyak yang menentang karena dianggap perangkap neoliberal, seluruh fraksi di DPR sudah setuju RUU BPJS disahkan menjadi UU sebelum masa reses DPR (bulan Juli 2011) artinya seluruh DPR sudah bulat (Tribunnews.com, 6/07/2011).
UU tersebut menurut anggota komisi IX Surya Chandra Surapati mau mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai falsafah gotong-royong dan Pancasila terutama Sila Kelima, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan ini dikemukakan oleh Surya ketika menanggapi adanya pendapat bahwa ada upaya  untuk meneoliberalisasikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial di dalam RUU BPJS dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning di Gedung Nusantara I DPR, Senin (14/6).
Jelas sekali, tidak ada perbedaan antara Pemerintah dan DPR kecuali perkara-perkara teknis mengenai bentuk dan wewenang badan pengelola tersebut. Padahal faktanya UU ini, menurutmantan menteri kesehatan Ibu Siti Fadilah Supari, yang kini menjadi anggota Wantimpres,isinya jelas membebani rakyat, tidak sesuai dengan konstitusi. Ini sama saja dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi sehingga UU SJSN ini nggak ada manfaatnya sama sekali dan harus dirombak total!
Jika ditelusuri dengan cermat, UU SJSN dan RUU BPJS tersebut sebenarnya mengandung banyak masalah dari mulai paradigma sampai pada tataran teknis baik menurut konstitusi negara ini apalagi menurut tinjauan syariah Islam.

Meminimalkan Peran Negara
Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang muncul dari sistem ekonomi kapitalis ini—yang kemudian diadopsi dalam UU SJSN—adalah negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat, termasuk dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Semua urusan masyarakat, khususnya bidang ekonomi dan sosial, diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itulah, walaupun namanya Sistem Jaminan Sosial Nasioanal, isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin, dengan cara yang murah. Sekalipun nanti yang miskin akan dibayari Pemerintah, tetapi atas nama hak sosial ini sebenarnya rakyat ditipu. Hal ini menurut Sri Fadilah bisa dilihat pada bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004 tentang SJSN. Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Untuk menjustifikasi bahwa UU SJSN ini bukan produk neoliberal mereka menggunakan dalih falsafah gotong-royong yang ada dalam Pancasila sebagaimana yang diungkapkan oleh anggota DPR dari fraksi IX di atas. Wajar kalau mantan Menteri Kesehatan Bu Sri Fadhilahmenganggap UU ini telah memalsukan nama sehingga isinya harus dirombak total karena tidak ada manfaatnya untuk rakyat, bahkan hanya akan menimbulkan penderitaan baru bagi rakyat.

Membebani Rakyat
Menurut Arim Nasim, konsep jaminan sosial merupakan kebijakan tambal-sulam untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep keadilan sosial atau negera kesejahateraan maka negara—yang sejatinya dalam sistem kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial kemasyarakatan—dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial. Konsep ini sebetulnya hanya untuk menutupi kelemahan sistem kapitalis. Berkat konsep inilah sistem kapitalis masih bisa bertahan.
Sistem Jaminan sosial sendiri merupakan program yang bersifat wajib bagi seluruh rakyat. Mereka diwajibkan terlibat dalam kepesertaan dengan cara membayar iuran atau premi secara reguler kepada pelaksana, dalam hal ini BPJS. Dengan demikian, pengingkaran terhadap kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pasal 1 UU tersebut berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Karena itu, sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan juga diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, buruh kasar yang dipandang tidak miskin; mereka juga akan dipunguti iuran. Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan rakyat, apalagi definisi orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat beragam. Ada garis kemiskinan yang dikeluarkan Pemerintah setiap tahun berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) yang menetapkan orang miskin berbeda dengan kriteria sebelumnya. Masing-masing standar tersebut menghasilkan jumlah orang miskin yang berbeda. Apalagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan Standar Statistika Negara melalui Badan Pusat Statistik yang menetapkan standar kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan pengeluaraan sebesar Rp 7.000 perhari(Pikiran Rakyat, 14/7/2011). Berarti angka kemiskinan akan turun drastis dan muncul orang kaya baru? Pasalnya, orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari mereka tidak lagi masuk kategori miskin. Padahal banyak pekerja di negeri ini termasuk di sektor formal, sekalipun yang pendapatannya jauh di atas, tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok yang layak. Selain itu, akibat tingginya inflasi yang tidak dapat dikendalikan Pemerintah, komersialisasi berbagai fasilitas publik, dan perluasan pungutan pajak, membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka kembali dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat dipastikan beban hidup yang akan mereka tanggung akan semakit berat.

Badan Pelaksana
Meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni keuntangannya dikembalikan kepada peserta, BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RUU BPJS pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk “menempatkan dana jaminansosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbang-kan aspeklikuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai.” Dengan demikian, BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana tersebut, seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada berbagai portofolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.
Menurut Siti Fadhilah, meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan social; tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, ini menyangkut dana 190 triliun!
Karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan RUU BPJS, sebagaimana halnya UU lain, sarat dengan intervensi asing. Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan Pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan Pemerintah untuk mem-bail-outsektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008, misalnya, Pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor asing.
Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan UU tersebut adalah para investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan mengapa pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.
Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang, maka pembayaran klaim terhadap peserta asuransi seperti pelayanan kesehatan, santunan kepada para pensiunan akan bersifat minimalis. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana yang terjadi di negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim pembiayaan kepada BPJS. Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS kepada para peserta akan ditingkatkan. Jika masih kurang, negara dipaksa untuk memberikan dana talangan.

Tidak Menyelesaikan Masalah
Jaminan Sosial ini bagi sebagian kalangan dipandang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya penduduk miskin. Padahal kenyataannya tidak, karena jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Bahkan dalam UU SJSN jaminan tersebut hanya terbatas pada asuransi kesehatan, kecelakaan, hari tua dan kematian. Padahal problem utama penduduk miskin adalah tidak tercukupinya kebutuhan dasar mereka secssara memadai khususnya pangan, sandang dan papan.
Bahkan di negara-negara yang dianggap maju sekalipun, sistem jaminan sosial pada faktanya tidak mampu mencakup berbagai kebutuhan dasar rakyatnya. Buktinya, mengutip data ILO, pengangguran yang menerima jaminan sosial di negara-negara berpenghasilan tertinggi sekalipun hanya 39% dari total pengangguran yang ada. Di AS dan Kanada, pengeluaran biaya kesehatan masyarakat yang dapat di-cover oleh belanja pemerintah termasuk melalui jaminan sosial hanya 47%. Selebihnya masih ditanggung oleh publik (ILO, 2011).
Dalam sistem Kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak menjadi tanggung jawab negara. Negara yang menganut sistem tersebut sebagaimana Indonesia tidak memiliki metode baku dalam mendistribusikan kekayaan kepada orang-orang yang tidak mampu. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan tetap menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri.
Memang di negara-negara kapitalis, negara kadangkala melakukan intervensi dalam bentuk subsidi. Namun demikian, berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia, misalnya, ada program penjualan beras miskin (raskin), Jamkesmas dan bantuan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, tetap saja jumlah dan cakupannya sangat terbatas sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin.
Penyebab utama dari masalah ini adalah kelemahan ideologi Kapitalisme dalam mendistribusikan kekayakan di tengah-tengah masyarakat. Fokus utama dari sistem ekonomi negara ini adalah pertumbuhan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat dicapai. Namun faktanya, kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang unggul dalam kegiatan ekonomi khususnya para pemodal. Adapun mereka yang tersisih dari kegiatan ekonomi, seperti orang jompo, orang cacat, pengangguran, tetap tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.
Para pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara Kapitalisme bukan tidak menyadari hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk menambal ‘lubang besar’ sistem ini, termasuk pemberian subsidi dan program jaminan sosial. Namun kenyataannya, kemiskinan, pengangguran, disparitas pendapatan yang tinggi, malnutrisi dan akses kesehatan yang mahal tetap menjadi masalah yang tak dapat dipecahkan oleh sistem ini. [Muhammad Ishak/Lajnah Maslahiyyah DPP HTI]