Minggu,
11 Maret 2012 00:00 Red. SuaraJabar.Com
Jakarta
[SuaraJabar.Com] - Alasan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
karena subsidi dinilai tidak tepat sasaran, menuai kritik dari anggota Komisi
IX DPR Rieke Diah Pitaloka. Rieke menegaskan, subsidi itu bukan dinikmati orang
kaya.
"Sebenarnya
pemerintahan SBY-Boediono yang berhaluan neoliberal, selalu mengatakan bahwa
subsidi BBM dinikmati orang kaya. Siapa bilang Subsidi BBM dinikmati orang
kaya?," ujar politisi PDI Perjuangan, itu Minggu, (11/3), di Jakarta.
Dia mengungkapkan,
64 persen BBM dikonsumsi pengguna sepeda motor. Menurutnya, itu bukan kelompok
ekonomi kaya. Melainkan kelas ekonomi menengah dan bawah. "Sisanya hanya
36 persen BBM yang dikonsumsi mobil," kata dia.
Ia menjelaskan
lagi, 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat miskin dan menengah
bawah yang rata-rata pengeluaran per kapitanya kurang dari USD 4 perhari.
"Bahkan sebanyak 29 persen masyarakat di dalamnya dikonsumsi oleh kelompok
miskin yang pengeluaran perkapitanya kurang dari USD 2," ungkap Rieke.
Menurut Rieke,
sebanyak 41,8 persen kelompok rumah tangga dengan tingkat pendapatan kurang
dari Rp2 juta mengonsumsi BBM premium. Selain itu, kelompok pendapatan Rp2–3,5
juta yang mengonsumsi premium sebanyak 33,2 persen, kelompok berpendapatan
Rp3–5,5 juta sebanyak 23.6 persen, dan kelompok berpendapatan lebih dari Rp 5,5
juta dengan konsumsi premium hanya 1.4 persen.
Menurut Rieke, ada
ketidakadilan dalam hal pembangian porsi anggaran yang ditujukan bagi pemberian
subsidi rakyat dan belanja aparatur. Jika dilihat dari sisi pengeluaran
anggaran negara untuk belanja birokrasi dalam kurun waktu pemerintahan SBY, Dia
mengatakan, "2005 hingga 2012, mengalami kenaikkan dari 39,6 persen
menjadi 51,4 persen, atau naik sekitar 21,0 persen," katanya.
Sedangkan anggaran
subsidi untuk rakyat dikurangi setiap tahunnya. "Untuk subsidi BBM dari
18,8 persen menjadi 8,7 persen atau turun sekitar 53,6 persen," jelasnya.
Sedangkan besaran
anggaran untuk belanja pegawai dari tahun 2010 sampai 2012 terus meningkat dari
Rp162.659 triliun menjadi Rp215.725 triliun. "Angka tersebut lebih besar
dari besaran anggaran subsidi Rp208.850," tuntasnya.[JPNN