Motivasi jadi DPR ternyata uang saja

media umat.com
Monday, 11 June 2012 05:28
Sudah menjadi tabiat dan cacat bawaan demokrasi.

Anda berharap suara Anda akan didengar dan kemudian disalurkan oleh wakil rakyat Anda yang duduk di DPR Senayan Jakarta? Tahan dulu harapan Anda. Khawatir Anda akan kecewa.
Disertasi  Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengungkapkan,  soal motivasi seseorang menjadi anggota DPR. “Yang bikin saya kaget, ternyata motivasi orang yang pertama menjadi anggota Dewan, mayoritas adalah kepen¬tingan ekonomi.”
Ia menyebut,  DPR ini dianggap lembaga untuk mencari nafkah. Baru setelah itu, lanjutnya, adalah kepentingan politik, ideologi, sistem demokrasi, kepentingan publik tertentu, sikap politik dan terakhir adalah pembelaan kelompok minoritas. “DPR tidak lagi menjadi tempat untuk orang-orang beridealisme tinggi. Katakanlah untuk mem¬buat UU membangun sistem peraturan dan lain sebagainya,” tambahnya.

Terkait konsep menjadi anggota DPR, ia mengatakan, “Konsep diri men¬jadi anggota parlemen mayoritas pragmatis. Sehingga ada korelasi yang menyambung.  Setelah itu, konsep materia¬listis, idealis, konfiden dan konsep dominan.
Lebih lanjut ia me¬ngungkap hasil penelitiannya terkait dengan besarnya biaya kampanye calon anggota DPR periode 2009-2014. “Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh seorang caleg berkisar diangka Rp 6 milyar dengan biaya teren¬dah Rp 2 milyar dan tertinggi menca¬pai Rp 22 milyar,” ungkapnya.

Menanggapi hasil penelitian tersebut, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman mengatakan, semua itu merupakan akibat logis dari penerapan sistem kapitalisme dengan politik demokrasinya.
“Kapitalisme mengajarkan asas manfaat sebagai pondasinya dan keuntungan materi sebagai tolok ukurnya. Kapitalisme mengajarkan bahwa segala upaya dan pengorbanan manusia itu harus bisa mendatangkan keuntungan materi,” jelasnya
Dalam kamus kapitalisme tidak dikenal yang namanya pengorbanan. Yang ada adalah investasi. Berapa yang dikeluarkan dan berapa yang didapat sebagai imbalannya atau berapa yang harus diperoleh untuk mengembalikan modal atau biaya yang dikeluarkan disertai sekian persen keuntungan.

“Kapitalisme mendorong setiap orang menghitung apa saja yang dilakukannya dalam konteks untung rugi materi, dalam hal ini menilai semua sebagai investasi,” jelasnya.
Sedangkan dalam pentas politik, doktrin-doktrin itu diwadahi dalam sistem politik demokrasi. Sistem ini bertumpu pada sistem perwakilan di mana “wakil-wakil rakyat” dipilih secara periodik oleh masyarakat, di samping penguasa yang juga dipilih langsung oleh masyarakat secara periodik yang sama.

Sistem politik demokrasi itu sarat modal. Mengingat untuk pencalonan dan proses pemilihan saja diperlukan biaya yang tidak sedikit. Yahya menjelaskan kalau biaya tersebut kebanyakan dari sponsor yaitu para pemodal.
“Karena itu dengan doktrin kapitalisme di atas, ketika seorang wakil berhasil terpilih, hal pertama yang menjadi fokus dia adalah bagaimana mengembalikan modal yang dikeluarkan dan berikutnya mengumpulkan modal untuk proses periode berikutnya,” tandasnya.

Di samping itu bagaimana mengembalikan biaya kepada sponsor tentu ditambah keuntungan. Keuntungan yang rasional minimal adalah sesuai dengan tingkat bunga yang diberikan oleh perbankan seandainya modal tadi misalnya didepositokan. Karena itu terjadilah lingkaran setan uang dan kekuasaan. Uang digunakan untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk mengumpulkan uang dan berikutnya uang yang dikumpulkan itu untuk meraih kekuasaan dan begitu seterusnya. Itulah tabiat demokrasi yang sebenarnya.

Yahya menegaskan. “Fenomena itu hanya akan bisa dihilangkan kalau sistem politiknya diubah secara total menjadi sistem politik yang berpijak pada politik ri’ayah dan tidak sarat biaya. Sistem politik yang seperti itu hanya sistem politik Islam. Karenanya untuk menghilangkan fenomena itu hanya bisa dengan penerapan sistem poltitik Islam menggantikan sistem politik demokrasi yang ada saat ini.” Urainya.[] fatih mujahid