seputar harokah islam


    Setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniyyah pada 3 Maret 1924, umat Islam tidak memiliki komando pusat yang dapat menghimpun dan menyatukannya.Akibatnya, umat Islam terpecah belah menjadi kekuatan-kekuatan kecil yang tidak berdaya sehingga musuh-musuh Islam semakin leluasa menguasai negeri-negeri mereka. Melihat kondisi yang menyedihkan ini, sebagian umat Islam yang memiliki kepedulian terhadap eksistensi  dien nya berusaha untuk mengembalikan "menara yang hilang"-meminjam istilah Dr. Abdullah Azzam-tersebut (khilafah Islamiyah) dengan membentuk kelompok-kelompok pergerakan Islam ( harakah Islamiyah ).Ketika  Jama'atul muslimin  telah lenyap, setidaknya  harakah Islamiyah  yang berfungsi sebagai  jama'ah minal muslimin  ini dapat berperan aktif dalam menghimpun potensi umat Islam untuk digunakan secara optimal dalam rangka menegakkan agama Islam ( iq a matud dien ).
Harakah Islamiyah  yang aktif dalam kancah  iqamatud dien  ini pada realitanya lebih dari satu.  Sebenarnya fenomena keberagaman  harakah Islamiyah  ini merupakan hal yang positif. Namun demikian, dalam praktek di lapangan sering terjadi aksi saling jegal dan kompetisi tidak sehat. Bahkan, tidak sedikit yang melemparkan vonis dan tuduhan negatif terhadap saudaranya sesama aktivis  harakah,  apalagi jika "sang pemvonis" tersebut berhasil menemukan kesalahan suatu harakah  maka sudah pasti nama  harakah  ini akan masuk dalam  black list  mereka sehingga lenyaplah semua kebaikan yang dimiliki oleh saudaranya itu.Semestinya kita bisa bersikap secara adil dan proporsional. Kita harus menyadari bahwa pada kenyataannya ada saudara-saudara kita sesama aktivis  harakah Islamiyah  yang juga memiliki cita-cita dan harapan seperti yang kita miliki.
Tulisan singkat ini berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai "rambu-rambu" yang harus dipahami oleh setiap aktivis  harakah Islamiyah  dalam  iqamatud dien  dan dalam berinteraksi dengan para aktivis  harakah Islamiyah  di luar kelompoknya. Tulisan ini hanyalah sebagai pengantar karena sifatnya yang masih sangat global sehingga diharapkan untuk siapa saja yang membacanya bisa memperdalam kembali masalah ini dengan merujuk pada kitab-kitab karya para ulama yang berkompeten dan atau menanyakannya pada majelis-majelis ilmu yang ada.  
Kewajiban  amal jama'i

          Iqamatud dien  bukanlah pekerjaan ringan yang bisa dipikul secara individu.  Iqamatud dien  merupakan pekerjaan berat yang penuh dengan tantangan dan resiko. Invidu meski setangguh apa pun kekuatan fisik, jiwa, dan unsur pendukung lainnya yang dimilikinya tidak akan sanggup memikul pekerjaan ini sendirian. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerja kolektif ( amal jama'i ) untuk menjalankan pekerjaan ini. Syari'at secara tegas memerintahkan kita untuk melakukan  amal jama'i. [1]  Allah SWT berfirman:
"Berpeganglah kalian pada tali Allah dan janganlah bercerai-berai . "  (QS Ali Imran [3]: 103)
Tali Allah di sini adalah Al-Qur'an sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ali dan Abu Sa'id Al-Khudri dari Nabi saw. Riwayat dari Mujahid dan Qotadah seperti itu (ahk a mul Qur ' a n  oleh Ibnu Al-Araby 1/291). Artinya, Al-Qur'an kebenaran yang menjadi dasar kehidupan Rasulullah saw. Diriwayatkan juga dari Abdullah bahwa  hablull a h  (tali Allah) adalah Al-Jama'ah.
Al-Qurthubi mengatakan, "Arti  hablull sebuah hal  di atas saling mendekati dan mencakup karena Allah SWT memerintahkan berkumpul dan melarang perpecahan. Sebab, perpecahan adalah kebinasaan dan jama'ah adalah keamanan. "(Tafsir Al-Qurthuby 4/159)
Al-Jashas berkata, "Inilah perintah berkumpul dan larangan terpecah-belah. Orang mukmin seluruhnya diperintahkan agar mengingatkan padanya dan berkumpul di dalamnya. "( ahk a mul Qur ' a n  oleh Al-Jashash 2/214)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
"Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah itu Maha dahsyat siksa-Nya. "  (QS Al-Maidah [5]: 2)
Berkata Ibnu Katsir, "Allah  Ta ' a ​​la  memerintahkan para hamba-Nya yang mukmin agar tolong-menolong dalam menerapkan berbagai ragam kebaikan, itulah  al-Birru  (kebajikan), dan dalam meninggalkan kemunkaran, itulah  takwa , serta melarang mereka tolong-menolong pada kebatilan dan bantu-membantu dalam perbuatan dosa dan haram. "(Tafsir  Al-'Aliyil Qad i r Likhtish a ri Ibnu Kats i r  oleh Nashib Ar-Rifa'i 1/484 dan  a dul Mash i r  oleh Ibnul Al-Jauzi 2/276)
Ibnu Jarir berkata, "Hendaklah sebagian dari kalian membantu sebagian lainnya, hai orang-orang mukmin, yaitu dalam mengerjakan perintah Allah yakni takwa.Takwa itu menjaga diri terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan menjauhkan diri dari durhaka kepada-Nya. "(Tafsir Ath-Thabary 6/6)
Demikianlah,  amal jama'i  merupakan kewajiban  syar'i.  Untuk melaksanakan kewajiban syar'i  ini, maka dibentuklah sebuah  jama'ah  atau  harakah Islamiyah sebagai sarana  iqamatud dien  agar bisa bekerja lebih praktis dan efektif. Sebab, setiap urusan yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan berkumpul untuknya, maka adanya  jama'ah  untuk urusan tersebut adalah wajib. Kaidah ushul fiqh mengatur,

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

"Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengannya maka ia adalah wajib." [2]
Eksistensi  Harakah Islamiyah  Dalam Pandangan Ulama
Meskipun legitimasi syar'i  amal jama'i  begitu jelas, namun pada kenyataannya sering muncul polemik seputar eksistensi  harakah Islamiyah  dalam  iqamatud dien.  Ada sebagian pihak yang menganggap bahwa kemunculan  jama'ah-jama'ah  atau  harakah Islamiyah  merupakan hal baru dalam agama (bid 'ah) yang memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Bahkan, ada tuduhan ekstrim bahwa semua  harakah Islamiyah  yang ada merupakan sekte sempalan di luar ahlus sunnah wal jama'ah.  Benarkah tuduhan itu?
Kita tidak bisa memukul rata dalam menghukumi  harakah Islamiyah  yang ada. Di antara mereka memang ada yang menyempal dari  ahlus sunnah wal jama'ah. Ada juga harakah Islamiyah  yang mencampurkan antara sunnah dengan bid'ah. Demikian pula, ada harakah Islamiyah  yang lebih dominan dalam mempraktekkan dan memperjuangkan sunnah dibandingkan dengan  harakah Islamiyah lainnya.
Di luar kelompok yang telah jelas-jelas menyempal dari  ahlus sunnah wal jama'ah , pada dasarnya kemunculan  harakah Islamiyah ini bukan merupakan bid'ah atau pencipta madzhab baru dalam aqidah. Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar berkata, "Jama'ah-jama'ah ini tidak menciptakan aqidah yang baru dan manhajnya tidak bertentangan dengan ahlus sunnah." [3]
Bahkan, mayoritas jama'ah Islam termasuk dalam  firqah an-najiyah.  Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz mengatakan, "Semua jama'ah Islam termasuk dalam al-Firqatun Najiyah , kecuali jika ada di antara mereka melakukan kekufuran yang mengeluarkannya dari dasar iman. Tetapi perbedaan kekuatan dan kelemahan derajat mereka tergantung pada kedekatan mereka dengan kebenaran dan penerapannya, tergantung pada kesalahan mereka dalam memahami dalil dan penerapannya. Yang paling banyak mendapat adalah yang paling bisa memahami dalil dan mengamalkannya. Maka dari itu, kenalilah arah pandangan mereka.Bergabunglah bersama mereka yang paling banyak mengikuti kebenaran. Tetapi, janganlah berbuat semena-mena terhadap saudara sesama muslim yang karenanya Anda menolak kebenaran yang mereka lakukan. Ikutilah kebenaran di mana pun ia berada, sekalipun berasal dari orang yang berlawanan denganmu dalam satu dua masalah. Kebenaran adalah penuntun orang mukmin. Kekuatan dalil dari kitab Allah dan sunnah merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan. " [4]
Para ulama tidak mengingkari kemunculan  harakah Islamiyah  dan kontribusi mereka untuk perjuangan  iqamatud dien.  Ucapan Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz pada menjadi bukti. Selain itu, masih banyak fatwa dan komentar positif dari para ulama menanggapi kemunculan harakah Islamiyah . Sekadar untuk melengkapi, berikut ini saya nukilkan fatwa beberapa ulama menanggapi eksistensi  harakah Islamiyah  dalam lapanganiqamatud dien .
Soal:
Apakah berdirinya  jama'ah-jama'ah  Islamiyah di negara-negara Islam sebagai wadah yang mengayomi dan mentarbiyyah para pemuda dalam memahami Islam, dianggap sebagai salah satu fenomena positif abad ini?
Jawab:
Eksistensi atau keberadaan  jama'ah-jama'ah  Islam tersebut mengandung kebaikan bagi kaum Muslimin. Meskipun demikian, hendaknya  jama'ah-jama'ah tersebut berusaha keras untuk senantiasa menjelaskan kebenaran disertai dalilnya dan tidak membuat masing-masing mereka berpaling dari sebagian lainnya. Di samping itu, hendaknya  jama'ah-jama'ah  tersebut berupaya keras untuk saling bekerja sama, saling mencintai, saling menasehati, saling mengungkapkan kebaikan dan selalu bersikeras untuk mengabaikan segala sesuatu yang dapat mengeruhkan hubungan. Tidak ada larangan bagi berdirinya  jama'ah-jama'ah  tersebut selama mereka tetap mendakwahkan kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya saw.
(Fatwa al-Syaikh Ibnu Baz, Majallah al-Bu hal uts al-Islamiyyah vol. 32 hal. 119)
Soal:
Apakah nasihat Syaikh kepada para pemuda yang bergabung dengan  jama'ah-jama'ah Islamiyah tersebut?
Jawab:
Hendaknya mereka menyusun langkah, merumuskan dan mencari cara yang  haq  (benar), serta selalu berkonsultasi dengan para ahli ilmu saat menemui kesulitan, bekerja sama dengan  jama'ah-jama'ah  lain dalam berbagai hal yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh kaum muslimin, dengan tetap berpedoman pada dalil-dalil syar'i, menghindari kekerasan dan tidak saling mengolok-olok, senantiasa menggunakan kata-kata dan cara yang baik, menjadikan para as-salaf ash-shali hal sebagai  qudwah  (panutan) dan dengan menjadikan kebenaran sebagai landasan dalilnya . Di samping itu, harus mereka pun memperhatikan aqidah yang benar, yaitu aqidah yang dianut oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya ra.
(Fatwa al-Syaikh Ibnu Baz, Majallah al-Bu hal uts al-Islamiyyah vol. 32 hal. 119) [5]
Berkata Syaikh Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, "Sesungguhnya beramal untuk Islam melalui jama'ah-jama'ah tersebut merupakan tindakan yang benar secara syar'iyah dan aqliyah. Dan mengerahkan kemampuan seluruh anggota demi memperjuangkan Dinul Islam melalui suatu organisasi yang teratur rapi, tanpa memperhatikan bentuk organisasinya, diperintahkan secara syar'i. Dan iltizam terhadap perjanjian-perjanjian yang bersifat syar'i untuk mewujudkan suatu tugas tertentu dan jelas sesudah disepakati sebelumnya, merupakan kewajiban yang selayaknya daan sesuai dengan syari'at. " [6]
Berkata Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaly, "Maka wajib atas setiap muslim membantu jama'ah-jama'ah ini pada kebenaran yang dimilikinya dan wajib untuk melakukan nasihat dan petunjuk pada hal-hal yang menyimpang dari kebenaran atau tidak dapat menunaikannya dengan baik dari ijin tersebut. Dan wajib atas jama'ah-jama'ah ini untuk saling tolong-menolong pada kebenaran yang telah disepakati dan saling menasehati di antara mereka pada hal-hal yang diperselisihkan dan memohon kepada Allah SWT untuk menunjuki mereka dalam hal itu ke jalan yang lurus.
Wajib bagi jama'ah-jama'ah tersebut untuk menjadi satu tangan dalam membangun istana Islam yang megah dan mengembalikan kejayaannya, karena jika bergerak sendiri-sendiri maka mereka tidak mampu, dan Allah SWT walinya orang-orang yang shalih. Wajib pula atas jama'ah-jama'ah ini untuk mengisi para pengikutnya dengan kebenaran dan kecintaan kepada seluruh kaum muslimin sehingga dapat menghancurkan penghalang hizbiyah (fanatis kelompok) yang telah memporakporandakan persatuan dan melemahkan kekuatan serta ketangguhan mereka. " [7]
Mengapa Muncul Beragam  Harakah Islamiyah   
Kemunculan beragam  harakah Islamiyah  setidaknya disebabkan oleh:
Pertama;  karena para ulama dan da'i berbeda pendapat dalam menentukan prioritas amal untuk mengembalikan kejayaan dien ini. Hal ini dikarenakan berbedanya tingkat pengetahuan dan pemahaman dien mereka.
Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan, "Berdirinya jama'ah-jama'ah Islam yang banyak di berbagai tempat di dunia Islam, karena tempat tinggalnya yang saling berjauhan, perbedaan prioritas, perubahan berbagai unsur dan faktor, sehingga mau tidak mau semua ini mendorong lahirnya berbagai jama'ah dakwah. " [8]
Berkata Dr. Umar bin Sulaiman Al-Asyqar ketika ditanya mengapa harus ada sekian banyak jama'ah? Mengapa tidak dibentuk satu jama'ah saja?, "Karena para ulama dan da'i saling berbeda dalam membatasi sarana dalam melakukan pembelaan terhadap Islam dan para pemeluknya, saling berbeda dalam program yang dirancang untuk mengembalikan pamor Islam dan meninggikan meneranya. Perbedaan ini tidak selamanya salah, dan bahkan adakalanya benar semua.
Bukan berarti semua pendapat, pemikiran dan persepsi yang dimunculkan semua jama'ah itu benar. Jama'ah tak berbeda dengan individu, ada yang kering dan ada yang subur, ada yang benar dan ada yang salah. Tugas para da'i dan para pemikir adalah meluruskan jalan dan arah.
Tidak dapat diragukan, banyak unsur-unsur negatif dan positif dari keberadaan berbagai jama'ah di Dunia Islam. Tidak diragukan pula bahwa di sana ada perbedaan dalam kedekatan dan kejauhannya dari manhaj yang benar. Tetapi ini suatu yang sangat lumrah. Orang-orang muslim dari kalangan ahlus sunnah tidak mungkin berada dalam satu level dalam masalah pengetahuan, pemahaman dan persepsi yang benar. " [9]
Kedua;  satu  harakah  tidak akan mampu sendirian menegakkan daulah Islam.
Dr. Abdullah Azzam mengatakan, "Sesungguhnya  harakah-harakah  Islam, meski bagaimana pun kuatnya, meski serapi apa pun organisasinya, tidak akan mampu sendirian menegakkan Daulah Islam. " [10]
Berkata Al-'Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Memang keberadaan jama'ah-jama'ah itu saya yakini sangat esensial, sebab satu jama'ah saja tidak mungkin bisa menegakkan semua kewajiban yang dibebankan oleh Islam. Oleh karena itu, masing-masing di antara jama'ah ini harus melaksanakan kewajibannya. Namun dengan satu syarat, mereka semua harus berada dalam satu lingkup, menyepakati satu asa, berada pada kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan, agar mereka bisa saling memahami daan terdekat. Tidak dapat diragukan bahwa usaha  iqamatud dien  ini tidak menafikan masalah-masalah yang berkaitan dengan profesi tertentu, seperti hubungan antara tukang besi, tukang kayu, dan tukang-tukang yang lainnya dalam membangun sebuah bangunan. Sekelompok tukang besi tidak dapat melaksanakan tugas tukang kayu, begitu juga yang lainnya. Jika mereka saling bermusuhan atau berselisih, tentu mereka tidak akan bisa mendirikan bangunan dan menjaga keutuhan istana. Saya yakin, salafiah saja, atau Ikhwanul Muslimin saja, atau jama'ah mana pun yang Anda inginkan tidak bisa berbuat banyak. Namun jama'ah-jama'ah ini, saat bersatu dalam satu tujuan, saling tolong-menolong dengan kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing maka pada saat itu orang-orang mukmin akan bergembira dengan pertolongan Allah. " [11]
Maka dari itu keberadaan sekian banyak jama'ah senantiasa akan menjadi fenomena yang sehat, selagi semuanya bergerak dalam lapangan kebaikan, sekaligus memberikan manfaat yang besar bagi kaum muslimin. Keberadaan mereka juga bisa menyempurnakan gambaran Islam secara keseluruhan. Jika satu jama'ah mengabaikan satu gambaran, maka jama'ah lain akan memperhatikannya, sehingga muncul gambaran Islam yang saling melengkapi, yang bisa dilihat dari berbagai jama'ah Islam, dari para ulama dan pemimpinnya, sebab tidak mungkin satu jama'ah saja bisa mencakup semua gambaran.
Kaidah-Kaidah Umum Dalam Menyikapi Fenomena Keberagaman  Harakah Islamiyah
Fenomena keberagaman  harakah Islamiyah  merupakan bagian dari fenomena perselisihan ( ikhtilaf ) yang pasti terjadi di kalangan umat Islam. Selama perselisihan itu sebatas pada perselisihan yang bersifat variatif ( ikhtil a f tanawwu ' )-bukan perselisihan yang bersifat kontradiktif ( ikhtil a f tadh a d ) - yang masih mengacu pada dalil-dali syar'i, maka hal ini merupakan sesuatu yang tidak dilarang . Sebab, di kalangan  salafush shalih  pun sering terjadi perselisihan pendapat ( ikhtil a ful  a r a ' ) tentang suatu masalah. Masing-masing bersikukuh mempertahankan pendapatnya berdasarkan dalil-dalil yang mereka pahami.Namun demikian, perselisihan pendapat di kalangan mereka tidak lantas berlanjut menjadi konflik tajam.      
         Dalam menyikapi perbedaan pendapat, semestinya para aktivis  harakah Islamiyah  bisa meneladani contoh yang dilakukan oleh  salafush shalih.  Mereka harus bisa membedakan antara perselisihan yang bersifat variatif ( ikhtil a f tanawwu ' ) yang diperbolehkan dengan perselisihan yang bersifat kontradiktif ( ikhtil a f tadh a d ) yang dilarang. Masalah teknis di lapangan bisa berbeda, akan tetapi dalam konsep  iqamatud dien  haruslah sama. Demikian juga, metodologi ( wasilah ) perjuangan bisa berbeda, akan tetapi dalam metode ( manhaj ) perjuangan haruslah sama. Setiap  harakah  yang mau memperjuangkan Islam haruslah  harakah Sunniyyah ; artinya  harakah  yang bermanhaj  ahlus sunnah wal jama'ah.  Perselisihan yang terjadi di antara  harakah-harakah Sunniyyah  jangan sampai menyebabkan permusuhan di antara mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan kaidah-kaidah yang berpijak pada dasar ilmu, keadilan, dan sikap pertengahan dalam menyikapi perbedaan pendapat ataupun keberagaman  harakah Islamiyah.  Dalam bukunya  Al-'amal Al-Isl a my Baina Daw a - 'il Ijtim a 'wa Du ' a tin niz a ' ,[12] Lembaga Studi dan Penelitian Pakistan telah menempatkan kaidah-kaidah yang cukup cerdas untuk menyikapi perbedaan pendapat di kalangan  ahlus sunnah wal jama'ah.  Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut: 
Kaidah pertama:  Kebenaran dikenal melalui hakikatnya, bukan melalui tokoh-tokohnya ( الحق يعرف بنفسه لا بالرجال )
Jika kita memperhatikan perselisihan-perselisihan dan pertentangan-pertentangan yang ada, maka kita akan mendapati bahwa kebanyakan adalah bersumber dari fanatisme buta kepada kelompok tertentu, jama'ah, atau individu. Padahal kewajiban kita adalah mengikuti kebenaran apabila telah jelas dan menjadikannya pada segalanya. Sesungguhnya kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Kebenaran itu dikenal melalui hakikatnya; bukan melalui siap yang menyampaikannya. Para salafush shalih  telah memperingatkan pada fanatisme sempit dan taklid buta.
Ibnu Mas'ud ra berkata, "Ketahuilah, jangan ada seorang pun di antara kalian yang taklid kepada orang lain dalam urusan agamanya, yaitu jika seseorang beriman ia ikut beriman dan jika orang itu kafir, ia ikut kafir. Hal ini karena sesungguhnya tidak bisa ada panutan dalam melakukan perbuatan buruk. "( a mi 'Bay a nil 'Ilmi wa Fadhlihi  karya Ibnu Abdil Barri [2/114])
Imam Malik  rahimahullah  berkata, "Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar, maka perhatikanlah pendapatku. Bila sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ikutilah, namun apabila bertentangan dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah. "( a mi 'Bay a nil 'Ilmi wa Fadhlihi  karya Ibnu Abdil Barri [2/32])
Sahabat Ali bin Abi Tahlib ra. pernah berkata, "Janganlah engkau mengenali kebenaran melalui tokoh-tokohnya. Akan tetapi kenalilah kebenaran lebih dahulu, niscaya engkau akan mengenal golongan yang berada pada kebenaran itu. "
Sesungguhnya apabila kita mengetahui dan mengamalkan konsekuensi dari kaidah ini, maka akan hilang banyak dari sebab perpecahan dan pertentangan antara kita.Kita mengetahui bahwa afiliasi kita yang hakiki adalah kepada kebenaran dimana ia adalah di atas segalanya, tanpa harus fanatik buta pada suatu kelompok, madzhab, atau individu. Akan tetapi kita membiarkan orang atau kelompok sebatas pada kebenaran yang ada pada mereka; dan kita menyelisihi mereka sebatas pada kebatilan yang ada pada mereka.
Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim  rahimahullah , "Pada setiap kelompok tentu ada kebenaran dan kebatilan / kesalahan. Kewajiban kita adalah menerima yang benar dan menolak yang batil. Barang siapa yang dibukakan Allah melalui metode ini, berarti ia telah dibukakan untuknya setiap pintu menuju ilmu dan agama, serta dimudahkan untuk mengambilnya. "( Thar i qul Hijratain  hal. 387)
Kaidah kedua:  Tidak ada manusia yang  ma'shum  selain para Nabi
لا عصمة لغير الأنبياء )
Kesalahan adalah hal yang lazim terjadi paad setiap manusia. Seluruh manusia, bahkan para sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan ulama, tidaklah  ma'shum . Orang yang  ma'shum  (bebas dari kesalahan dalam menyampaikan dan menerapkan Islam) hanyalah para nabi dan rasul. Rasulullah saw. bersabda:
كل بني آدم خطاء و خير الخطائين التوابو ن
"Setiap keturunan Adam pernah berbuat kesalahan; dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertobat."  (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Sanad hadits ini shahih.)
Kaidah ketiga:  Melakukan kesalahan tidak harus berarti berbuat dosa
( لا تلازم بين الخطأ و الإثم )
Sebagian ahli bid'ah berpandangan bahwa kesalahan dan dosa merupakan dua hal yang lazim. Sementara  ahlus sunnah  berpendapat bahwa ketika seorang mujtahid salah dalam berijtihad, maka ia tetap diganjar dengan pahala dan tidak berdosa. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران, وإذا إجتهد فأخطأ فله أجر .
"Apabila seorang hakim (mujtahid) berijtihad lalu ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala. Akan tetapi jika ijtihadnya salah maka baginya satu pahala. "  (HR Bukhari)
Ibnu Taimiyah  rahimahullah  berkata, "Sesungguhnya banyak dari para mujtahid salaf dan khalaf telah berkata dan mengerjakan sesuatu yang bid'ah. Hal ini mungkin karena adanya hadits-hadits dha'if yang mereka mengiranya shahih, atau ayat-ayat yang mereka pahami dan ternyata tidak benar, atau karena pendapat yang mereka miliki, atau karena dalam masalah tersebut ada nash-nash yang belum sampai kepada mereka. Jika sesorang telah bertaqwa kepada Allah dengan semampunya maka ia masuk dalam firman Allah,  'Ya Rabb kami, janganlah Engkau mengadzab kami ketika kami lupa atau salah.' "( Majm u 'ul Fat a w a [19/191])
Beliau juga berkata tentang kondisi para mujtahid dari kaum  shiddiqin ,  syuhada ', dan  shalihin,  "Adapun hasil ijtihad mereka, maka kadang-kadang benar dan kadang-kadang salah. Jika mereka berijtihad dan benar maka untuk mereka dua pahala, dan jika mereka berijtihad dan salah maka untuk mereka satu pahala atas kesungguhan mereka sedang kesalahan mereka terampuni. Adapun anggota  Dhalal  (kesesatan); mereka membuat kesalahan dan dosa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kadang mereka  ghuluw  (berlebihan) terhadap para mujtahid tersebut dan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang  ma'shum. Kadang pula mereka meremehkannya dan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang melampui batas. Adapun anggota ilmu dan iman, mereka tidak menghukumi  ma'shum  kepada para mujtahid tersebut dan tidak menghukumi mereka dengan dosa. Dalam permasalahan ini banyak lahir ahli bid'ah dan Dhalal. "(Majm u 'ul Fat a w a  [35/69-70])
Kaidah keempat:  Tidak bisa mengikuti ijtihad yang salah meskipun pemiliknya mendapatkan udzur
لا قدوة في الخطأ ولو كان صاحبه معذورا  )
Sesungguhnya ijtihad seorang mujtahid apabila telah jelas penyelisihannya terhadap kebenaran maka wajib untuk membuangnya dan harus mengambil izin yang telah ditampilkan oleh dalil. Hal semacam ini bukanlah berarti menjatuhkan posisi mujtahid tersebut, akan tetapi kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti.
Imam Adz-Dzahabi berkata, "Seorang tokoh dari pemuka-pemuka ilmu saat benarnya banyak, dikenal sangat berpihak kepada kebenaran, luas ilmunya, menonjol kecerdasannya, terkenal keshalihan dan sifat wara'nya, dan mengikuti sunnah, maka kesalahan orang semacam ini dimaafkan. Kita tidak bisa menyatakan ia sebagai orang sesat, membuang pendapatnya, dan melupakan kebaikan-kebaikannya. Memang kita tidak akan mencontoh dia dalam hal bid'ahnya dan kekeliruannya, dan kita mengharapkan dia bertobat dari kesalahannya. "( Siyaru A'l a min Nubal a '  [5/279])
Demikian juga, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata tentang seorang tokoh muslim terkemuka, "Sungguh orang semacam itu salah dan keliru, tapi dalam hal itu ia dimaafkan, bahkan diberi pahala karena ijtihadnya. Sekalipun demikian, pendapat itu tidak bisa diikuti, kehormatannya tidak bisa dijatuhkan, dan kepemimpinannya tidak bisa dibuang dari hati kaum muslimin. "( I'l a mul Muwaqqi ' i ​​n  [3/283])
Kaidah kelima: Tidak ada keharusan antara berselisih pendapat dengan berselisih hati
لا تلازم بين الخلاف في الرأي و اختلاف القلوب

Perbedaan pendapat dan berbilangnya ijtihad adalah suatu hal yang alami karena tingkat pengetahuan, akal, dan karena adanya dalil-dalil yang terlihat kontradiktif dan tidak sampainya sebagian dalil pada sebagian orang. Namun perbedaan ini tidak menyebabkan hati menjadi saling berjauhan, pecahnya jama'ah, dan menghukumi orang yang menyelisihi dengan tanpa ilmu dan adil; karena para sahabat dulu juga pernah berselisih pendapat dalam banyak permasalahan, akan tetapi hati mereka tetap bersatu.
Ibnu Taimiyah  rahimahullah  berkata, "Banyak sekali dari kalangan salaf yang saling berbeda pendapat dalam banyak masalah. Tetapi tidak diketahui adanya seorang pun di antara mereka yang mengecam yang lain dengan mengatakan kafir atau fasiq atau telah berbuat maksiat. "( Majm u 'ul Fat a w a  [3/230])
Kaidah keenam:  Kesalahan dinilai sesuai tingkatannya ( الخطأ يقدر بقدره )
Sebagaimana diketahui, kesalahan adalah suatu keharusan yang terjadi pada manusia. Bahkan, orang-orang shaleh dan pembesar kaum muslimin juga tidak lepas darinya. Sa'id bin Musayyib  rahimahullah  berkata, "Tidak ada orang yang mulia dan orang yang berilmu kecuali di dalam dirinya pasti ada aib. Akan tetapi, di antara manusia ada orang yang tidak patut untuk disebut-sebut aibnya. Maka barang siapa yang keutamaannya lebih banyak dari pada kekurangannya, maka kekurangannya tersebut tertutupi oleh keutamaan-keutamaannya. "( Al-Bid a yah wan Nih a yah  karya Ibnu Katsir [9/100])
Bila setiap orang yang salah kebaikan-kebaikannya disingkirkan maka hal ini akan menimbulkan kerusakan yang besar dan bahaya yang besar pula. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Bila setiap orang yang salah atau khilaf langsung ditinggalkan dan kebaikan-kebaikannya dihancurkan, maka rusaklah ilmu-ilmu dan hukum, serta hilanglah pengetahuan-pengetahuan." ( Mad a rijus S a lik i n  [2/39] )
Kaidah ketujuh:   kata orang yang berselisih dan lawannya tidak dianggap
كلام الخصوم ر الأقران يطوى ولا يروى )
Fenomena saling melempar tuduhan antar-aktivis  harakah  dalam amal Islami hari ini kebanyakan faktor penyebabnya berasal dari sifat hasad dan semisalnya dari orang-orang yang sedang berselisih kepada lawannya. Hal ini bukan masalah baru dalam sejarah manusia, namun telah lama ada dan tidak ada seorang pun yang selamat darinya kecuali para nabi dan shiddiqin.
Manhaj  ahlus sunnah wal jama'ah  dan para ulama  jarh wa ta'dil  adalah tidak menerima perkataan ini dan tidak menganggapnya kecuali apabial telah tegak dalil  qath'i  atas kebenarannya.
Imam Adz-Dzahabi  rahimahullah  berkata, "kata orang-orang yang sedang berselisih, sebagian mereka kepada sebagian yang lain adalah tidak dianggap terlebih ketika telah nyata bahwa kata tersebut bersumber dari permusuhan dan hasad. Tidaklah selamat darinya kecuali orang-orang yang Allah jaga, dan saya tidak mengetahui satu masa yang pelaku-pelakunya selamat darinya kecuali para nabi dan shiddiqin. "( Miz a nul I'tid a l  karya Adz-Dzahabi [1/111])
Ibnu Abdil Barr  rahimahullah  berkata, "Dalam bab ini banyak manusia yang khilaf dan sesat karena kebodohan. Yang benar adalah bahwa barang siapa yang sifat adilnya telah benar, sifat amanahnya telah tetap, ketsiqahan dan kesungguhannya dalam berilmu telah jelas, maka kita tidak bisa berpaling kepada perkataan seseorang yang menjelek-jelekannya kecuali jika ia mendatangkan keterangan / saksi yang adil. "( a mi 'Bay a nil 'Ilmi wa Fadhlihi  hal. 152)
As-Subki  rahimahullah  berkata, "Hati-hatilah dan ketahuilah kaidah mereka (ahli bid'ah) yaitu  al-jarhu  (kesaksian atas kejelekan) didahulukan atas  ta'dil (kesaksian atas keadilan dan kebaikan) secara menyeluruh. Akan tetapi yang benar adalah bahwa barang siapa yang kepemimpinan dan keadilannya telah tetap, banyak pemujinya, jarang pencelanya, dan didapatkan korelasi yang menunjukkan bahwa sebab orang yang menjelek-jelekannya adalah karena fanatik madzhab dan yang lainnya, maka tidak bisa berpaling kepada perkataan orang yang menjelak -jelekannya tersebut. "( Thabaq a t Asy-Sy a fi'iyyah [1/188])
Kaidah kedelapan:  (kezhaliman tidak menghapus persaudaraan Islam)
الظلم لا يسقط الأخوة الإيماني ة
Sebagian masalah perselisihan yang ada di antara para aktivis Islam dimulai dari tuduhan yang zhalim dari seseorang kepada orang lain karena sebab tertentu, lalu orang yang tertuduh membalas tuduhan tersebut. Tindakan seperti ini justru memperuncing perselisihan dan menjerumuskannya ke jurang perpecahan. Kita tidak bisa lupa bahwa perbuatan zhalim saudara kita kepada kita tidak menjatuhkan hak-haknya atas kita, seperti ukhuwah, perwalian, haram menzhalimi dan memusuhinya.
Dalam masalah ini, Ibnu Taimiyah  rahimahullah  berkata, "Sesungguhnya kezhaliman tidak memutuskan tali perwalian iman. Allah  Ta'ala  berfirman,  'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. "  (QS Al-Hujurat [49]: 9-10)
Allah menjadikan tetapnya ukhuwah meskipun sudah memerangi dan berbuat aniaya. Ketahuilah bahwasanya seorang mukmin wajib untuk diberi perwakian meskipun dia telah menzhalimi dan menganiayamu. Sedangkan seorang kafir wajib untuk dimusuhi meskipun dia telah memberimu dan berbuat baik kepadamu. "(Majm u 'ul Fat a w a  [28/209])   
Kaidah kesembilan:  (Pengisoliran  harus ada alasan syar'i)
الهجر لابد أن يكون شرعيا
Termasuk penyebab terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin hari ini adalah adanya fenomena saling mengisolir dan saling membelakangi di antara para aktivis Islam. Kebanyakan mereka memoles perilaku itu dengan polesan syar'I, padahal sebenarnya factor pendorongnya adalah karena kepentingan individu dan tidak ada korelasi sama sekali dengan pengisoliran yang syar'i. Sebab, pengisoliran yang syar'i memiliki kriteria sebagai berikut:
  1. Harus motivasinya adalah ikhlas karena Allah
  2. Harus dengan cara yang syar'i
  3. Kuatnya prediksi bahwa pengisoliran tersebut akan menyampaikan kepada apa yang dimaksud darinya. Sebab, pengisoliran bukan merupakan tujuan.Namun, tujuan yang dimaksud adalah tercegahnya orang yang diisolir dari perbuatannya dan agar dia tidak ditiru oleh yang lain. Maka jika pengisoliran yang dilakukan tidak menghasilkan tujuan ini, pengisoliran tersebut tidaklah diperintahkan, akan tetapi  ta'lif  (menjinakkan) hati adalah lebih utama untuk dikerjakan.
Ibnu Taimiyah  rahimahullah  berkata, "Pengisoliran yang syar'i merupakan salah satu tindakan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, sehingga tindakan yang baik ini benar-benar bersifat ikhlas karena Allah, sejalan dengan perintah-Nya sehinga benar-benar menjadi perbuatan yang ikhlas karena Allah. Barang siapa yang mengisolir karena muslim lainnya karena dorongan hawa nafsu atau dengan pengisoliran yang tidak diperintahkan oleh agama, maka hal itu menyimpang dari syar'i.Alangkah banyaknya pengisoliran yang didasarkan pada nafsu dan prasangka yang tidak benar, tetapi dianggap perbuatannya itu sebagai ketaatan kepada Allah.Patutlah dibedakan antara pengisoliran karena agama Allah dan pengisoliran karena nafsu. Yang pertama diperintahkan oleh Allah dan yang kedua dilarang. "( Majmu 'ul Fat a w a  [28/207-208])  
Penutup
Perpecahan umat merupakan realitas pahit yang kita saksikan pada zaman ini. Realitas ini akan terasa lebih pahit jika para aktivis  harakah Islamiyah  yang diharapkan mampu mengentaskan umat dari bencana perpecahan ternyata malah menjadi tokoh pemeran utama dalam memecah belah umat; bukan berusaha memberikan solusi terhadap perpecahan yang terjadi. Sementara itu, musuh-musuh Islam dengan segala kecanggihan teknologi yang mereka miliki tidak pernah surut dalam memerangi Islam. Mereka memetik manfaat yang sangat berharga dari perpecahan umat Islam. Bahkan, dengan skenario kotor yang mereka ciptakan, tidak jarang mereka mengadu-domba umat Islam; termasuk mengadu-domba antar-aktivis  harakah Islamiyah.
Oleh karena itu,  harakah-harakah Sunniyyah  -apa pun nama  harakah  mereka dan di mana pun mereka berada-harus bersatu. Afiliasi  harakah  bisa berbeda, akan tetapi manhaj dan aqidah yang diperjuangkan harus sama. Kita harus bersatu di atas manhaj dan aqidah  ahlus sunnah wal jama'ah . Demikian juga, kita harus menyadari bahwa  harakah  atau  jama'ah  hanyalah sarana; bukan tujuan utama. Jangan sampai sarana tersebut malah mengalahkan tujuan utama.
Semoga tulisan ini mampu memberikan kontribusi berharga bagi kita semua.  A m i n Y a Rabbal ' A lam i n.