Adapun pemikiran
yang mustanir adalah pemikiran yang paling tinggi, yaitu pemikiran yang
dapat mengantarkan pada kebangkitan yang sebenarnya. Pemikiran mustanir juga
merupakan pemikiran yang membuat perkara-perkara yang samar menjadi jelas
terang benderang. Pemikiran yang mustanir tidak cukup hanya sebatas pengetahuan
tentang asal muasal benda beserta cabang-cabangnya atau fakta-fakta beserta
sebab musababnya atau teks-teks beserta makna-maknanya semata seagaimana yang terdapat
dalam pemikiran yang amiq (mendalam), melainkan membutuhkan pengetahuan
tentang perkara-perkara yang melingkupi benda-benda tersebut dan
perkara-perkara yang berkaitan dengannya.
Ketika pembahasan suatu benda
dilakukan dengan menggunakan pemikiran yang mustanir maka pembahasan itu
tidak cukup hanya sampai pada pengetahuan tentang jenis timbangannya atau
susunan zatnya semata, melainkan harus mengetahui pula tentang keadaan dan
kondisinya yaitu pengetahuan tentang aturan-aturan yang digunakan untuk menetapkan
hukum atas benda tersebut, potensi yang dimilikinya serta potensi yang membuatnya
berjalan secara otomatis dan stabil. Kecuali apabila keadaanya berubah menuju
keadaan yang lain maka potensi dan penetapan hukum atas benda tersebut juga
berubah.
Dengan demikian, ketika pembahasan tersebut sudah sampai pada pembahasan yang mendalam maka mestilah ditanyakan pula perkara-perkara yang berkaitan dengan benda tersebut, yaitu siapakah yang telah menundukkan benda itu kepada aturan-aturan tersebut dan menjalankannya sesuai dengan keadaan dan kondisinya tersebut. Hal itu berarti penguasaan yang mendalam terhadap bagian-bagian benda itu, aturan-aturan yang digunakan untuk menetapkan hukum atas benda itu dan pengetahuan tentang siapakah yang telah menundukkan benda itu pada atuan-aturan tersebut.
Oleh karena itu, pemikiran tersebut dinamakan sebagai pemikiran yang mustanir, yaitu tidak ada sesuatu pun yang tertinggal kecuali semuanya itu diliputi oleh kejelasan dan juga disertai penjelasan tentang perkara-perkara yang ada di balik sesuatu tersebut. Tidak cukup hanya dengan pemikiran mendalam dan menolak pemikiran dangkal yang tidak berharga saja. Itulah karakter dari pemikiran yang mustanir dan hal yang membedakannya dengan pemikiran yang mendalam. Itulah pemikiran-pemikiran yang akan menentukan hukum dari tindakan dan tingkah lakunya. Berdasarkan pemikiran mustanir itu manusia membangun pemahaman dan kecenderungannya.
Dengan pemikiran mustanir itu pula dia dapat menentukan sudut pandangnya tentang kehidupan dan makna keberadaannya dalam kehidupan. Itulah yang akan mengangkat derajat dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Apakah dia rela menjadi orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang rendah? Apakah dia rela memiliki pemikiran yang dangkal dan pandangan yang sempit?
Apakah dia merasa puas dengan pemikiran yang mendalam dan meninggalkan ribuan pertanyaan berkaitan dengan segala sesuatu yang berada di sekitarnya? Apakah dia menghindarkan diri untuk menjawab pertanyaan tentang keterkaitan antara sebab dan musababnya dengan dalih bahwa hal itu terjadi secara kebetulan atau merupakan perubahan yang tiba-tiba terjadi, ketika dia tidak mampu untuk menganalisanya? Ataukah dia mencari kedudukan yang Allah muliakan dan kenikmatan yang telah Allah karuniakan kepadanya yaitu nikmat akal dan kemuliaan sebagai manusia.
Dengan demikian, dia dapat berpikir sebagai manusia dan menggunakan akalnya untuk memahami benda-benda dan memperoleh kejelasan dari perkara-perkara yang masih samar sehingga dapat mengetahui hakekatnya. Dengan demikian, haruslah melakukan mutaba’ah (monitoring) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, mengkaitkan sebab dengan musababnya, mengetahui keadaan-keadaan dan kondisinya serta mengerahkan upaya untuk mengetahui apa-apa yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga mampu menempuh jalan kebangkitan dan meningkatkan derajat kemuliaannya melalui akal dan pemahamannya. Oleh karena itu, kami katakan,”Manusia akan bangkit karena pemikiran yang dimilikinya berkaitan dengan kehidupan, alam semesta dan manusia; serta tentang keterkaitan antara semua itu dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudah kehidupan dunia ini.”
Hal ini berarti bahwa jalan kebangkitan itu adalah pandangan manusia terhadap manusia itu sendiri, terhadap kehidupan di sekelilingnya dan terhadap alam semesta dimana dia hidup, yang sangat luas ini. Dengan demikian, hal itu memungkinkan manusia untuk mengetahui jalan yang harus ditempuh ketika dia hidup di alam ini.
Maksudnya, dia dapat mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini. Hal itu tidak akan terjadi pada dirinya kecuali apabila dalam dirinya terdapat pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia dalam rangka menetapkan hakekat yang sebenarnya, apakah dia bersifat azali dan abadi ataukah hanya sebagai makhluk? Apabila dalam dirinya terdapat penetapan bahwa dirinya adalah makhluk, lalu apakah sesuatu yang lebih dulu ada sebelum dirinya? Maksudnya, haruslah membentuk pemikiran tentang
Yang Maha Pencipta yang menjadi sandaran bagi alam semesta ini. Hal itu sebagaimana keharusan untuk membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang sesuatu yang ada sesudah kehidupan dunia ini. Sepanjang terdapat permulaan dari kehidupan dunia ini maka haruslah ada akhirnya pula, lalu apakah akhir dunia itu? Apakah kaitan antara semua benda itu dengan sesuatu yang ada sebelumnya yaitu Yang Maha Pencipta? Apa kaitan benda-benda itu dengan sesuatu yang ada sesudahnya?
Maksudnya, apakah di dalamnya terdapat kaitan antara kehidupan dunia dengan sesuatu yang ada sebelumnya? Apakah kaitan antara kehidupan dunia ini dengan sesuatu yang ada sesudahnya? Dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk memahami kehidupan dunia ini, yaitu memahami jalan yang harus ditempuh ketika dia hidup di dunia ini. Dengan demikian, dia akan mampu untuk mengetahui makna keberadaannya di dunia ini dan mengetahui makna dari kehidupan ini.
Dengan demikian, ketika pembahasan tersebut sudah sampai pada pembahasan yang mendalam maka mestilah ditanyakan pula perkara-perkara yang berkaitan dengan benda tersebut, yaitu siapakah yang telah menundukkan benda itu kepada aturan-aturan tersebut dan menjalankannya sesuai dengan keadaan dan kondisinya tersebut. Hal itu berarti penguasaan yang mendalam terhadap bagian-bagian benda itu, aturan-aturan yang digunakan untuk menetapkan hukum atas benda itu dan pengetahuan tentang siapakah yang telah menundukkan benda itu pada atuan-aturan tersebut.
Oleh karena itu, pemikiran tersebut dinamakan sebagai pemikiran yang mustanir, yaitu tidak ada sesuatu pun yang tertinggal kecuali semuanya itu diliputi oleh kejelasan dan juga disertai penjelasan tentang perkara-perkara yang ada di balik sesuatu tersebut. Tidak cukup hanya dengan pemikiran mendalam dan menolak pemikiran dangkal yang tidak berharga saja. Itulah karakter dari pemikiran yang mustanir dan hal yang membedakannya dengan pemikiran yang mendalam. Itulah pemikiran-pemikiran yang akan menentukan hukum dari tindakan dan tingkah lakunya. Berdasarkan pemikiran mustanir itu manusia membangun pemahaman dan kecenderungannya.
Dengan pemikiran mustanir itu pula dia dapat menentukan sudut pandangnya tentang kehidupan dan makna keberadaannya dalam kehidupan. Itulah yang akan mengangkat derajat dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Apakah dia rela menjadi orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang rendah? Apakah dia rela memiliki pemikiran yang dangkal dan pandangan yang sempit?
Apakah dia merasa puas dengan pemikiran yang mendalam dan meninggalkan ribuan pertanyaan berkaitan dengan segala sesuatu yang berada di sekitarnya? Apakah dia menghindarkan diri untuk menjawab pertanyaan tentang keterkaitan antara sebab dan musababnya dengan dalih bahwa hal itu terjadi secara kebetulan atau merupakan perubahan yang tiba-tiba terjadi, ketika dia tidak mampu untuk menganalisanya? Ataukah dia mencari kedudukan yang Allah muliakan dan kenikmatan yang telah Allah karuniakan kepadanya yaitu nikmat akal dan kemuliaan sebagai manusia.
Dengan demikian, dia dapat berpikir sebagai manusia dan menggunakan akalnya untuk memahami benda-benda dan memperoleh kejelasan dari perkara-perkara yang masih samar sehingga dapat mengetahui hakekatnya. Dengan demikian, haruslah melakukan mutaba’ah (monitoring) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, mengkaitkan sebab dengan musababnya, mengetahui keadaan-keadaan dan kondisinya serta mengerahkan upaya untuk mengetahui apa-apa yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga mampu menempuh jalan kebangkitan dan meningkatkan derajat kemuliaannya melalui akal dan pemahamannya. Oleh karena itu, kami katakan,”Manusia akan bangkit karena pemikiran yang dimilikinya berkaitan dengan kehidupan, alam semesta dan manusia; serta tentang keterkaitan antara semua itu dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudah kehidupan dunia ini.”
Hal ini berarti bahwa jalan kebangkitan itu adalah pandangan manusia terhadap manusia itu sendiri, terhadap kehidupan di sekelilingnya dan terhadap alam semesta dimana dia hidup, yang sangat luas ini. Dengan demikian, hal itu memungkinkan manusia untuk mengetahui jalan yang harus ditempuh ketika dia hidup di alam ini.
Maksudnya, dia dapat mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini. Hal itu tidak akan terjadi pada dirinya kecuali apabila dalam dirinya terdapat pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia dalam rangka menetapkan hakekat yang sebenarnya, apakah dia bersifat azali dan abadi ataukah hanya sebagai makhluk? Apabila dalam dirinya terdapat penetapan bahwa dirinya adalah makhluk, lalu apakah sesuatu yang lebih dulu ada sebelum dirinya? Maksudnya, haruslah membentuk pemikiran tentang
Yang Maha Pencipta yang menjadi sandaran bagi alam semesta ini. Hal itu sebagaimana keharusan untuk membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang sesuatu yang ada sesudah kehidupan dunia ini. Sepanjang terdapat permulaan dari kehidupan dunia ini maka haruslah ada akhirnya pula, lalu apakah akhir dunia itu? Apakah kaitan antara semua benda itu dengan sesuatu yang ada sebelumnya yaitu Yang Maha Pencipta? Apa kaitan benda-benda itu dengan sesuatu yang ada sesudahnya?
Maksudnya, apakah di dalamnya terdapat kaitan antara kehidupan dunia dengan sesuatu yang ada sebelumnya? Apakah kaitan antara kehidupan dunia ini dengan sesuatu yang ada sesudahnya? Dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk memahami kehidupan dunia ini, yaitu memahami jalan yang harus ditempuh ketika dia hidup di dunia ini. Dengan demikian, dia akan mampu untuk mengetahui makna keberadaannya di dunia ini dan mengetahui makna dari kehidupan ini.
Adapun mengapa harus ada pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban-jawaban atas pertanyaan itu ketika hendak membentuk pemikiran yang menyeluruh
tersebut, maka hal itu dikarenakan manusia
dipaksa untuk berinteraksi dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dan
sama sekali tidak mampu untuk hidup memisahkan diri darinya. Dia adalah
seorang individu manusia yang diikat oleh interaksi dengan sesama manusia
lainnya, yang mau tidak mau harus dijalaninya. Dia juga akan melihat makhluk
hidup di sekitarnya sebagai bagian dari kehidupan yang harus dia ‘pergauli’ dan
hidup bersama-sama dengannya di dunia ini. Di muka bumi ini terdapat benda-benda.
Benda-benda itu harus dimanfaatkan.
Dengan benda-benda itu manusia memenuhi kebutuhannya, memuaskan rasa laparnya dan mewujudkan keinginannya. Sesungguhnya Allah telah menundukkan semua yang ada di muka bumi ini untuk manusia. Ringkasnya, bahwa manusia itu adalah gambaran tentang alam semesta dengan semua benda yang ada di dalamnya. Manusia sama dengan alam semesta, yaitu tersusun dari materi. Manusia juga sama dengan makhluk hidup lainnya yaitu mempunyai ruh (nyawa) yang di dalamnya terdapat kehidupan. Tetapi dia menjadi unik dengan kemampuan akalnya yang dapat menundukkan makhluk selain dirinya dan karena akalnya itu pula manusia menjadi objek dari taklif (kewajiban hukum syara).
Dengan demikian, merupakan suatu keharusan untuk membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Hendaklah dia mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu dan mengetahui kehidupan dimana dia dan sesamanya berada. Hendaklah dia memahami alam semesta tempat dia hidup sehingga dia dapat mengetahui makna kehidupan di dunia ini dan juga dapat mengetahui akibat dari perjalanan waktu yang dihabiskannya. Maksudnya, agar dia mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini.
Dengan benda-benda itu manusia memenuhi kebutuhannya, memuaskan rasa laparnya dan mewujudkan keinginannya. Sesungguhnya Allah telah menundukkan semua yang ada di muka bumi ini untuk manusia. Ringkasnya, bahwa manusia itu adalah gambaran tentang alam semesta dengan semua benda yang ada di dalamnya. Manusia sama dengan alam semesta, yaitu tersusun dari materi. Manusia juga sama dengan makhluk hidup lainnya yaitu mempunyai ruh (nyawa) yang di dalamnya terdapat kehidupan. Tetapi dia menjadi unik dengan kemampuan akalnya yang dapat menundukkan makhluk selain dirinya dan karena akalnya itu pula manusia menjadi objek dari taklif (kewajiban hukum syara).
Dengan demikian, merupakan suatu keharusan untuk membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Hendaklah dia mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu dan mengetahui kehidupan dimana dia dan sesamanya berada. Hendaklah dia memahami alam semesta tempat dia hidup sehingga dia dapat mengetahui makna kehidupan di dunia ini dan juga dapat mengetahui akibat dari perjalanan waktu yang dihabiskannya. Maksudnya, agar dia mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini.
Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dan tanpa membentuk pemikiran menyeluruh tentang alam semesta –tanpa
memperhatikan benar atau salahnya jawaban tersebut- maka dia tidak akan mampu
mendefinisikan makna keberadaannya dalam kehidupan.
Akibatnya, dia akan hidup tanpa arah. Keinginannya hanya memuaskan sebesar mungkin kenikmatan jasmaninya sehingga tidak ada bedanya dengan hewan, jika tidak dikatakan lebih buruk dari hewan tersebut.
{“Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.”}(Q.S. Al- ‘Araf: 179). {“Mereka
berkata,”Tidaklah kehidupan itu kecuali hanya kehidupan dunia ini saja. kita
mati dan hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali waktu.”}(Q.
S. Al-Jatsiyah: 24).
Akibatnya, dia akan hidup tanpa arah. Keinginannya hanya memuaskan sebesar mungkin kenikmatan jasmaninya sehingga tidak ada bedanya dengan hewan, jika tidak dikatakan lebih buruk dari hewan tersebut.
{“Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.”}(Q.
Sesungguhnya
pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia tersebut
digunakan dalam rangka mengetahui makna kehidupan dunia. Lebih jauh dari
pendangan yang menyeluruh terhadap alam semesta, manusia dan kehidupan itu
adalah apa yang disebut dengan akidah, dimana akidah tersebut dipahami sebagai
“pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia; tentang
sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; tentang kaitan semua itu
dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia serta kaitannya dengan sesuatu
yang ada sesudah kehidupan dunia ini”. Oleh karena itu, akidah adalah
satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemahaman yang benar tentang kehidupan
dunia ini, untuk mengetahui perjalanan waktu yang dihabiskan manusia dalam
hidupnya serta mengetahui makna keberadaannya dan apa yang harus dia lakukan
dalam kehidupan ini. Maksudnya, bahwa akidah itulah yang menentukan
pandangannya tentang lehidupan.
Dari akidah itulah muncul aturan kehidupannya serta aturan bagi tindakan dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, akidah itu adalah kaidah mendasar yang menjadi landasan seluruh pemikirannya. Hal itu karena akidah tidak akan membiarkan sedikitpun dari segala sesuatu yang memungkinkan panca indra untuk mengindranya kecuali akan dicakup dalam pemikiran yang menyeluruh tersebut. Akidah juga akan memberi jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut baik yang berkaitan dengan perilakunya ataupun yang berkaitan dengan pemikiran.
Akidah lah yang menjadi kaidah dasar dari pemikiran karena pemikiran sebagai yang telah kami katakan adalah penetapan hukum atas benda-benda atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa. Pemikiran yang menyeluruh tersebut telah mencakup segala sesuatu yang memungkinkan untuk diindra. Dengan demikian, akidah itu adalah kaidah yang mendasar dalam menetapkan hukum atas apapun yang terdapat di alam ini, dengan anggapan bahwa semua itu merupakan bagian dari pandangan yang menyeluruh terhadap segala sesuatu yang terdapat di alam ini.
Adapun mengenai perbuatan dan perilakunya yang harus sesuai dengan pandangan hidupnya serta makna keberadaannya di dalam kehidupan ini, maka hal itu merupakan cabang dari pengetahuannya tentang kaitan antara kehidupan ini dengan sesuatu yang ada sebelumnya dan berkaitan dengan tempat kembalinya setelah menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, seluruh perbuatan dan perilaku manusia adalah cabang dari pengetahuannya tentang hubungannya -sebagai manusia- dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia ini yaitu Zat yang telah menciptakannya dalam kehidupan di alam ini.
Dari akidah itulah muncul aturan kehidupannya serta aturan bagi tindakan dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, akidah itu adalah kaidah mendasar yang menjadi landasan seluruh pemikirannya. Hal itu karena akidah tidak akan membiarkan sedikitpun dari segala sesuatu yang memungkinkan panca indra untuk mengindranya kecuali akan dicakup dalam pemikiran yang menyeluruh tersebut. Akidah juga akan memberi jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut baik yang berkaitan dengan perilakunya ataupun yang berkaitan dengan pemikiran.
Akidah lah yang menjadi kaidah dasar dari pemikiran karena pemikiran sebagai yang telah kami katakan adalah penetapan hukum atas benda-benda atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa. Pemikiran yang menyeluruh tersebut telah mencakup segala sesuatu yang memungkinkan untuk diindra. Dengan demikian, akidah itu adalah kaidah yang mendasar dalam menetapkan hukum atas apapun yang terdapat di alam ini, dengan anggapan bahwa semua itu merupakan bagian dari pandangan yang menyeluruh terhadap segala sesuatu yang terdapat di alam ini.
Adapun mengenai perbuatan dan perilakunya yang harus sesuai dengan pandangan hidupnya serta makna keberadaannya di dalam kehidupan ini, maka hal itu merupakan cabang dari pengetahuannya tentang kaitan antara kehidupan ini dengan sesuatu yang ada sebelumnya dan berkaitan dengan tempat kembalinya setelah menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, seluruh perbuatan dan perilaku manusia adalah cabang dari pengetahuannya tentang hubungannya -sebagai manusia- dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia ini yaitu Zat yang telah menciptakannya dalam kehidupan di alam ini.
Tinggal
masalahnya yaitu:
Apakah
semua akidah akan dapat menciptakan kebangkitan? Apakah semua akidah itu
benar? Sesungguhnya setiap pemikiran yang menyeluruh tentang alam, kehidupan
dan manusia; tentang sesuatu yang ada sebelum kehidupan ini dan sesuatu yang
ada setelahnya; juga tentang keterkaitan antara kehidupan ini dengan sesuatu
yang ada sebelumnya serta keterkaitannya dengan sesuatu yang ada setelahnya
-atau apa yang disebut dengan akidah-
bisa dijadikan landasan untuk meraih kebangkitan.
Hal itu
terjadi karena semua akidah tersebut
telah mencakup kaidah yang mendasar berkaitan dengan benda-benda serta mencakup
juga kaidah yang mendasar berkaitan dengan semua hubungan, sudut pandang
tentang kehidupan dan pengetahuan tentang makna kehidupan. Selanjutnya, akidah
tersebut akan memberikan gambaran tentang jalan yang harus ditempuh untuk
meraih kebangkitan tersebut. Yakni terjadinya perpindahan dari suatu
keadaan menuju keadaan lain yang lebih baik, baik berkaitan dengan
individu maupun masyarakat.
Dengan demikian, akidah yang mencakup seluruh asas tersebut adalah landasan bagi kebangkitan, bahkan kebangkitan itu tidak akan sempurna kecuali adanya landasan tersebut dan berdasarkan pada landasan tersebut. Adapun apabila akidah itu bersifat terbatas yakni hanya terbatas pada satu aspek saja dan tidak mencakup aspek lainnya serta mengabaikan sesuatu yang seharusnya dicakup oleh akidah tersebut maka akidah tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan bagi kebangkitan. Bahkan, akidah tersebut tidak layak untuk disebut sebagai akidah apabila dikaitkan dengan definisi akidah yang sudah diuraikan sebelumnya. Walaupun dinamai akidah maka nama itu hanya bersifat majazi semata.
Dengan demikian, akidah yang mencakup seluruh asas tersebut adalah landasan bagi kebangkitan, bahkan kebangkitan itu tidak akan sempurna kecuali adanya landasan tersebut dan berdasarkan pada landasan tersebut. Adapun apabila akidah itu bersifat terbatas yakni hanya terbatas pada satu aspek saja dan tidak mencakup aspek lainnya serta mengabaikan sesuatu yang seharusnya dicakup oleh akidah tersebut maka akidah tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan bagi kebangkitan. Bahkan, akidah tersebut tidak layak untuk disebut sebagai akidah apabila dikaitkan dengan definisi akidah yang sudah diuraikan sebelumnya. Walaupun dinamai akidah maka nama itu hanya bersifat majazi semata.
Adapun
bahwa akidah itu adalah pemikiran yang benar atau kaidah yang benar dan akan
mengantarkan pada kebangkitan yang benar serta mengubah seseorang atau sebuah
masyarakat dari suatu keadaan menuju keadaan lain yang lebih baik maka dibutuhkan dalil
dan bukti atas kebenaran dari pemikiran atau kaidah tersebut. Karena
akidah itu merupakan pemikiran yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan
manusia maka keberadaannya sebagai sebuah pemikiran harus diukur dengan standar
yang dapat menunjukkan benar dan
salahnya pemikiran tersebut yakni sesuai atau tidaknya pemikiran tersebut
dengan fakta.
Hal itu karena sebuah pemikiran merupakan penetapan hukum atas sebuah fakta. Salah satu kriteria benarnya sebuah pemikiran adalah adanya kesesuaian antara pemikiran tersebut dengan fakta. Ketika kita melakukan penilaian terhadap pemikiran dari aspek benar tidaknya pemikiran tersebut, maka hal itu membutuhkan adanya standar yang ajeg dan kriteria yang benar sehingga dapat mengetahui hakekat dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, harus terdapat pengetahuan mengenai standar dan kriteria tersebut sehingga hukum atas pemikiran itu terang dan jelas.
Hal itu karena sebuah pemikiran merupakan penetapan hukum atas sebuah fakta. Salah satu kriteria benarnya sebuah pemikiran adalah adanya kesesuaian antara pemikiran tersebut dengan fakta. Ketika kita melakukan penilaian terhadap pemikiran dari aspek benar tidaknya pemikiran tersebut, maka hal itu membutuhkan adanya standar yang ajeg dan kriteria yang benar sehingga dapat mengetahui hakekat dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, harus terdapat pengetahuan mengenai standar dan kriteria tersebut sehingga hukum atas pemikiran itu terang dan jelas.
Pemikiran itu adalah penetapan hukum yang bersifat akal atas fakta
tertentu. Ketika kami mengatakan bahwa pemikiran itu adalah penetapan hukum
yang bersifat akal maka penetapan hukum itu harus didasarkan pada akal yakni
kaidah-kaidah yang berdasarkan akal yang benar. Maksudnya, menjadikan akal
sebagai hukum atas pemikiran tersebut serta menilai kebenaran pemikiran
tersebut berdasarkan apa yang diputuskan akal sehat.
Misalnya akal menetapkan bahwa di
balik jejak pasti ada sesuatu yang meninggalkan jejak tersebut, bahwa di balik
setiap peraturan pasti ada orang yang mengaturnya, bahwa setiap yang diatur
oleh sebuah aturan pasti memerlukan orang yang mengaturnya, bahwa orang yang
tidak mampu memenuhi kebutuhannya maka dia memerlukan bantuan dan bahwa orang
yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak akan dapat memberikan sesuatu itu.
Akal yang sehat juga menyatakan bahwa tidak mungkin menyatukan dua hal yang
bertolak belakang, akal juga dapat memutuskan tentang suatu benda apakah dia
ada atau tidak ada. Itu adalah sebagian dari kaidah yang benar berdasarkan
akal.
Dengan demikian, haruslah membangun hukum-hukum berdasarkan akal, mengukur pemikiran dan pandangan berdasarkan akal itu dan menyandarkan penetapan hukum pada akal tersebut. Akan tetapi ketika manusia tidak mengetahui kaidah-kaidah tersebut dan yang semisalnya atau menetapkan hukum yang berbeda dengan akal sehat tersebut maka kita katakan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang bersifat akal tetapi tidak dibangun berdasarkan akal. Maksudnya, hukum itu tidak dibangun berdasarkan kaidah-kaidah tersebut atau tidak disandarkan pada kriteria-kreteria tersebut. Itulah perkara-perkara yang sudah disepakati oleh orang-orang yang berakal.
Dengan demikian, haruslah membangun hukum-hukum berdasarkan akal, mengukur pemikiran dan pandangan berdasarkan akal itu dan menyandarkan penetapan hukum pada akal tersebut. Akan tetapi ketika manusia tidak mengetahui kaidah-kaidah tersebut dan yang semisalnya atau menetapkan hukum yang berbeda dengan akal sehat tersebut maka kita katakan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang bersifat akal tetapi tidak dibangun berdasarkan akal. Maksudnya, hukum itu tidak dibangun berdasarkan kaidah-kaidah tersebut atau tidak disandarkan pada kriteria-kreteria tersebut. Itulah perkara-perkara yang sudah disepakati oleh orang-orang yang berakal.
Dengan demikian, kriteria awal untuk
menilai benarnya pemikiran tersebut –akidah- adalah bahwa pemikiran itu harus
dibangun berdasarkan akal sehingga setiap orang yang berakal merasa puas dengan
pemikiran tersebut, tidak menyisakan pertanyaan yang belum dijawab, tidak
menyamakan keberadaannya dan ketidakadaannya, tidak merasa puas dengan
penyelesaian yang bersifat jalan tengah dan
tidak menjadikan materi sebagai sumber pemikiran. Dengan demikian,
syarat pertama berkaitan dengan benar tidaknya sebuah pemikiran adalah bahwa
pemikiran tersebut harus bersifat akliyah dan dibangun berdasarkan akal.
Adapun kriteria kedua adalah
kriteria yang berasal dari jenis yang lain.
Pembahasan tentang hal ini berkaitan
dengan manusia dan makna keberadaannya dalam kehidupan. Dengan adanya
pembahasan ini, manusia akan mengetahui bagaimana dia harus menjalani kehidupan
serta mengatur perilaku dan tindakannya sesuai dengan pemahamannya mengenai
makna kehidupan tersebut. Oleh karena itu, fakta tentang manusia dan pemahaman
tentang hakekat manusia tersebut merupakan objek dari pembahasan ini. Hal itu
karena manusia merupakan fakta yang ingin kita pikirkan. Dengan demikian,
pemikiran tentang manusia tersebut menjadi pemikiran yang benar yaitu sesuai
dengan faktanya. Hal itu karena pemikiran yang benar adalah pemikiran yang
sesuai dengan faktanya. Oleh karena itu, apakah hakekat manusia itu? Yakni
apakah fitah penciptaan manusia itu?
Kedua kriteria itulah yang harus
dijadikan dasar dalam menilai pemikiran yang menyeluruh (akidah) tersebut.
Kriteria pertama adalah bahwa pemikiran itu harus bersifat akal dan dibangun
berdasarkan akal. Kriteria kedua adalah kesesuaian pemikiran tersebut dengan
fakta manusia yakni kesesuaiannya dengan fitrah penciptaannya.
Kriteria yang pertama saya artikan sebagai kepuasan yang bersifat
akliyah dan dibangun berdasarkan akal. Tidak boleh terdapat asumsi bahwa setiap
pembahasan yang bersifat akal adalah pembahasan yang dibangun berdasarkan akal
atau bahwa setiap pemikiran yang dihukumi oleh akal berdasarkan fakta tertentu
adalah benar dan dibangun berdasarkan akal.
Ketika pembahasan yang bersifat akal serta penetapan hukum atas benda-benda, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa membutuhkan sejumlah elemen, kaidah dan kriteria tertentu, maka pembahasan tersebut harus menggunakan ketiga hal itu –sejumlah elemen, kaidah dan keriteria- ketika melakukan aktivitas berpikir yang bertujuan untuk menetapkan hukum atas suatu benda atau fakta atau peristiwa. Kebenaran hukum atas hal itu (benda, fakta dan peristiwa) bergantung pada benarnya elemen, kaidah dan kriteria tersebut karena aktivitas berpikir harus berasal dari akal yang sehat yang dapat mengkaitkan informasi yang ada pada dirinya dengan fakta atau peristiwa tertentu yang dia indra. Elemen-elemen mendasar untuk melakukan aktivitas berpikir ada empat yaitu akal yang sehat, pengindraan yang baik, fakta yang dapat diindra atau dapat digambarkan dalam benak dan informasi yang tersimpan atau yang diperoleh untuk menafsirkan fakta atau peristiwa tersebut. Akal melakukan aktivitas mengkait-kaitkan antar elemen-elemen tersebut dan menetapkan hukum atas benda-benda atau peristiwa tertentu.
Benar tidaknya kesimpulan dari aktivitas berpikir yang bersifat akal ini bergantung pada ketelitian dalam memahami dan menguasai fakta, kehati-hatian atas kekeliruan pengindraan, keakuratan dan kebenaran informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut serta ketepatan dalam mengkaitkan antara informasi dengan fakta tersebut. Hanya saja, hal itu tidak berarti bahwa penetapan hukum tersebut adalah benar kecuali apabila kaidah-kaidah mendasar dan alat pengukur yang dijadikan asas dalam menghukumi pemikiran-pemikiran dan fakta-fakta tersebut adalah benar dan meyakinkan.
Ketika pembahasan yang bersifat akal serta penetapan hukum atas benda-benda, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa membutuhkan sejumlah elemen, kaidah dan kriteria tertentu, maka pembahasan tersebut harus menggunakan ketiga hal itu –sejumlah elemen, kaidah dan keriteria- ketika melakukan aktivitas berpikir yang bertujuan untuk menetapkan hukum atas suatu benda atau fakta atau peristiwa. Kebenaran hukum atas hal itu (benda, fakta dan peristiwa) bergantung pada benarnya elemen, kaidah dan kriteria tersebut karena aktivitas berpikir harus berasal dari akal yang sehat yang dapat mengkaitkan informasi yang ada pada dirinya dengan fakta atau peristiwa tertentu yang dia indra. Elemen-elemen mendasar untuk melakukan aktivitas berpikir ada empat yaitu akal yang sehat, pengindraan yang baik, fakta yang dapat diindra atau dapat digambarkan dalam benak dan informasi yang tersimpan atau yang diperoleh untuk menafsirkan fakta atau peristiwa tersebut. Akal melakukan aktivitas mengkait-kaitkan antar elemen-elemen tersebut dan menetapkan hukum atas benda-benda atau peristiwa tertentu.
Benar tidaknya kesimpulan dari aktivitas berpikir yang bersifat akal ini bergantung pada ketelitian dalam memahami dan menguasai fakta, kehati-hatian atas kekeliruan pengindraan, keakuratan dan kebenaran informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut serta ketepatan dalam mengkaitkan antara informasi dengan fakta tersebut. Hanya saja, hal itu tidak berarti bahwa penetapan hukum tersebut adalah benar kecuali apabila kaidah-kaidah mendasar dan alat pengukur yang dijadikan asas dalam menghukumi pemikiran-pemikiran dan fakta-fakta tersebut adalah benar dan meyakinkan.
Apabila informasi-informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta
itu benar, kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengukur
fakta dan informasi itu juga benar, demikian pula aktivitas mengkaitkan antara
elemen-elemen itu juga benar maka hukumnya pun akan benar serta dianggap
sebagai hukum yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal. Adapun apabila
informasinya salah atau kaidah-kaidah dan kriteria-kriterianya tidak logis
(tidak masuk akal) atau proses pengkaitan antar elemen tersebut tidak benar
maka kesimpulannya pun akan salah. Adapun apabila informasi benar, faktanya
benar dan aktivitas pengkaitannya pun benar tetapi kaidah-kaidah dan alat
pengukurnya -yang digunakan untuk menilai fakta selama proses pengkaitan
tersebut serta digunakan untuk menilai informasi selama proses pengkaitan
antara informasi dan fakta tersebut- tidak benar maka aktivitas berpikir itu
pun merupakan aktivitas pemikiran yang bersifat akal akan tetapi aktivitas
berpikir itu tidak dibangun berdasarkan akal. Hal itu karena kaidah-kaidah dan
kriteria-kriteria yang digunakan tidak logis dan karena kebenarannya tidak
didasarkan pada penetapan akal sehat. Oleh karena itu, kita katakan bahwa
kesimpulannya bersifat akal akan tetapi tidak dibangun berdasarkan akal.
Oleh karena itu, pengindraan terhadap fakta saja tidaklah cukup
melainkan harus mengetahui fakta tersebut dengan pengetahuan yang dibangun
berdasarkan pengindraan yang benar. Dengan demikian, sebelum melakukan
penetapan hukum haruslah mengukur fakta tersebut dengan kaidah-kaidah
pengindraan yang benar agar kita tidak terkecoh oleh penampakan suatu benda
atau menganggap fatamorgana sebagai air. Harus pula terdapat pemahaman atas
fakta tersebut yaitu pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek fakta
tersebut, kondisi-kondisinya, keadaan-keadaanya dan semua yang berkaitan
dengannya. Dengan kata lain, peraturan-peraturan dan perundang-undangan seperti
apa yang digunakan untuk menghukumi fakta tersebut dan apakah sebab musababnya.
Semua itu harus dilakukan sebelum melakukan aktivitas berpikir yakni
mengkaitkan fakta dengan informasi atau mengkaitkan informasi dengan fakta.
Harus pula melakukan pengkajian terhadap fakta dan informasi tersebut, kondisi
dan keadaannya. Hal itu dilakukan dengan cara mengukur fakta dan informasi
tersebut dengan kaidah-kaidah tertentu yang bersifat logis sehingga akan
menghilangkan semua kesamaran dan ketidakjelasan yang berkaitan dengan hal itu.
Setelah melakukan pengindraan yang
benar dan dapat memastikan kebenaran pengindraan tersebut, baru kemudian
memindahkan pengindraan itu ke otak agar otak dapat memprosesnya sehingga dapat
menetapkan hakekat sesuatu yang diindra itu. Hanya saja, otak tidak mungkin
melakukan hal itu kecuali apabila otak tersebut mempunyai informasi yang akan
digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Baik informasi itu sudah tersimpan
di dalam otak ataupun hasil perolehan dari kuar. Sebagaimana manusia menilai
panca indranya dengan kaidah atau sejumlah kaidah tertentu, maka penilaian
terhadap informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut harus pula
didasarkan pada kaidah atau sejumlah kaidah yang sama dengan yang digunakan
untuk menilai panca indra tersebut. Maksudnya, hendaklah mengukur informasi tersebut
dengan kaidah-kaidah yang pasti dan logis sehingga dapat memastikan bahwa
informasi tersebut adalah benar, tidak bertentangannya dengan akal sehat dan
apa-apa yang dituntut oleh akal sehat. Kemudian, otak melakukan aktivitas
pengkaitan antara fakta dan informasi tersebut. Apabila proses pengkaitan itu
benar maka kesimpulannya pun akan bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal.
Dengan demikian, agar hukum-hukum yang bersifat akal dapat dikatakan sebagai
hukum-hukum yang dibangun berdasarkan akal, maka hal itu harus dikembalikan
kepada sejumlah kaidah dan postulat (sesuatu yang sudah tidak diragukan lagi
kebenarannya, pen.) yang dijadikan sebagai alat untuk mengukur fakta atau
informasi selama aktivitas pengkaitan tersebut. Hal itu sebagaimana soal-soal
matematika yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan menggunakan rumus-rumus
dan tabel. Penggunaan rumus apapun yang salah sudah tentu akan menyebabkan
kesimpulan yang salah walaupun menggunakan cara yang benar dalam memecahkannya.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah dan postulat itul? Sesungguhnya
kaidah-kaidah dan postulat itu adalah pemikiran yang bersifat umum dan
kaidah-kaidah pemikiran yang ditetapkan oleh akal sehat dalam rangka memahami
pemikiran-pemikiran yang bersifat cabang dan untuk menetapkan hukum-hukum yang
bersifat akal yakni realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut. Contohnya
seperti rumus-rumus ilmiah fisika, kimia, matematika, logaritma, akar pangkat
dua dan sebagainya. Di semua bidang pengetahuan tersebut sudah ditetapkan
postulat-postulat yang bersifat akal yang dapat digunakan untuk membantu
memahami perkara-perkara seperti tidak mungkinnya dua hal yang bertolak
belakang untuk disatukan, dua lebih banyak dari satu, sebuah garis lurus adalah
garis terpendek di antara dua buah titik, setiap jejak pasti ada pembuat
jejaknya, setiap keteraturan pasti ada yang mengaturnya dan ribuan contoh
lainnya yang termasuk ke dalam kaidah yang terdapat dalam bidang ilmu
pengtahuan. Dengan demikian, penggunaan kaidah-kaidah dan postulat-postulat
yang bersifat akal selama aktivitas berpikir tersebut dilakukan akan
menghasilkan kesimpulan yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal.
Adapun upaya untuk mengkomptomikan antara yang ada dengan sesuatu yang tidak
ada atau melakukan sebuah pembahasan dengan jalan tengah atau penyandaran
peristiwa kepada proses kebetulan dan gerak reflek atau bahwa benda mati adalah
sumber pemikiran dan sebagainya. Semua itu, karena kebatilannya, tidak dapat
dijadikan sebagai kaidah-kaidah yang mendasar dan tidak dibenarkan untuk
menyebut pemikiran-pemikiran yang dibangun di atas semua itu sebagai
pemikiran-pemikiran yang dibagun berdasarkan akal. Dengan demikian, bangunan
yang didirikan di atas akal mengharuskan adanya asas yang bersifat akal pula.
Maksudnya, kaidah atau sejumlah kaidah yang dijadikan landasan dalam proses
pengkaitan tersebut haruslah kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang berasal
postulat-postulat atau aksioma yang disepakati (tidak akan dipertentangkan)
oleh orang-orang yang berakal.
Oleh karena itu, ketika kita ingin
menetapkan kaidah yang mendasar bagi pemikiran kita maka hal itu harus
dilakukan dengan cara membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia
dan kehidupan dilihat dari aspek bahwa semua itu merupakan fakta yang memungkinkan
untuk diindra dan juga mencakup segala sesuatu yang ada. Dengan demikian, yang
harus dilakukan pertama kali untuk mengetahui apakah dia bersifat azali atau
sebagai makhluk yang diciptakan adalah dengan cara mengkaji hakekat pemikiran
yang menyeluruh tersebut. Fakta yang dapat diindra tersebut yakni alam semesta,
manusia dan kehidupan haruslah diperdalam agar dapat mengetahuinya dengan baik
dan mengetahui pula keadaan-keadaannya, kondisi-kondisinya serta semua hal yang
berkaitan dengannya. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk merujuk pada
informasi yang kita miliki yang berkaitan dengan semua itu dan juga merujuk
pada aturan-aturan atau rumus-rumus ilmiah. Kemudian, melakukan
penilaian terhadap fakta dan informasi yang kita miliki tersebut dengan cara
mengukurnya dengan sejumlah kaidah dan kriteria yang berkaitan dengan hal itu.
Maka, pada saat itu kita akan menemukan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah
terbatas, bahwa semuanya itu adalah membutuhkan kepada yang lain dan bahwa
semuanya itu tunduk kepada aturan yang mengaturnya. Pada saat itu, kita juga
akan mengetahui bahwa semua bagiannya tunduk kepada aturan-aturan serta
mengandung khasiyat (potensi) yang tidak mungkin dapat dihilangkankan.
Ketika kita mendapatkan semua fakta dan informasi yang digunakan untuk
menafsirkan semua fakta tersebut, kemudian kita ukur dengan kriteria dan kaidah
akliyah atau aksioma maka kita akan sampai pada sebuah kebenaran yaitu bahwa di
balik aturan itu terdapat pihak yang mengatur dan bahwa setiap yang diatur oleh
sebuah aturan maka dia tidak akan dapat keluar dari aturan tersebut. Pada saat
itu, kita juga akan menyaksikan kandungan dari fakta tersebut yaitu bahwa suhu
matahati berbeda dengan suhu udara yang berada di sekelilingnya. Pada saat itu,
kita juga akan mengetahui bahwa di sana banyak planet yang
suhunya juga berbeda dari suhu udara yang berada di sekelilingnya dan bahwa
matahari itu memancarkan cahaya yang terang yang berasal dari panasnya. Akan
tetapi, suhu cahaya tersebut tidak sama atau tidak seimbang dengan suhu udara
yang ada di sekelilingnya. Ketika kita mengkaitkan fakta tersebut dengan
kaidah-kaidah dan postulat-postulat tersebut maka akan ditemukan bahwa semua
benda memiliki suhu tertentu, yang akan berkurang panasnya secara bertahap
hingga sama dengan suhu sekitarnya. Maka, kita dapat menyatakan dengan yakin
bahwa planet-planet tersebut tidak mempunyai suhu yang sama dengan suhu yang
ada di sekelilingnya. Contohnya seperti kebanyakan benda-benda yang memancarkan
cahaya. Maka, kita menyatakan dengan yakin bahwa benda-benda tersebut mempunyai
titik permulaan yakni tidak bersifat azali. Dengan demikian, penetapan hukum
ini adalah penetapan hukum yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal,
yakni dibangun berdasarkan postulat yang bersifat akliyah atau aksioma. Ketika
kita sampai pada kesimpulan bahwa benda itu memiliki titik permulaan dan bahwa
benda-benda itu tidak bersifat azali maka akal akan menyatakan bahwa
benda-benda itu ada yang mengadakannya, bahwa benda-benda itu ada yang
memberinya suhu dan bahwa benda-benda itu ada yang menundukannnya pada suatu
aturan tertentu yang mengaturnya. Itulah penetapan hukum yang bersifat akliyah
yang dibangun berdasarkan akal. Itulah syarat pertama yang digunakan dalam
melakukan penetapan hukum atas pemikiran yang menyeluruh (akidah) tersebut
sehingga dapat diketahui bahwa pemikiran (akidah) itu benar dan bahwa penetapan
hukum tersebut sesuai dengan faktanya secara sempurna sehingga pemikiran itu
merupakan pemikiran yang benar. Contoh: bahwa semua benda memiliki suhu yang
akan memancarkan radiasi. Apabila suhu udara di sekitarnya tidak sama dengan
suhunya maka terjadilah radiasi hingga sama dengan suhu lingkungannya. Dengan
demikian, suhunya menjadi seperti suhu lingkungannya. Misalnya secangkir teh.
Apabila kita menuangkan air teh ke dalam sebuah cangkir dan suhu teh tersebut
tujuh puluh derajat celcius. Maka teh itu mulai mengalami radiasi sehingga
suhunya berkurang secara perlahan-lahan hingga mencapai suhu cangkirnya.
Seandainya kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat segelas
teh yang masih hangat, kita dapat menduga bahwa teh tersebut baru saja
dituangkan ke dalam gelas itu. Adapun setelah suhunya sama dengan suhu
lingkungannya maka kita tidak dapat memperkirakan kapan teh itu dituangkan.
Hanya saja, kita dapat mengatakan bahwa teh itu sudah lama dituangkan ke dalam
gelas tersebut. Itulah yang menyebabkan suhunya turun. Dalam hal ini terdapat
kriteria lain untuk radiasi. Benda-benda yang bercahaya akan kehilangan
bentuknya akibat adanya radiasi tersebut dan kadang-kadang berubah menjadi
unsur lain disebabkan hilangnya radiasi tersebut. Oleh karena itu, uranium akan
berubah menjadi timah setelah mengalami radiasi. Berdasarkan hal itu, para
ilmuwan memisah gumpalan timah yang bermacam-macam dari unsur uranium melalui
proses radiasi. Mereka menyebut gumpalan itu sebagai gumpalan(?) setengah umur
karena unsur uranium merupakan unsur yang dapat mengalami radiasi dan setelah
radiasinya hilang unsur uranium tersebut akan berubah menjadi gumpalan timah.
Oleh karena itu, gumpalan itu disebut sebagai gumpalan setengah umur.
Berdasarkan aturan suhu seperti itu
maka mereka memperkirakan kapan matahari akan berhenti. Hal itu dilakukan
dengan cara menghitung berapa radiasi suhunya. Mereka mengatakan bahwa matahari
itu, setelah sekian tahun akan kehilangan panasnya. Mereka berpendapat lebih
jauh lagi dari hal itu dengan menyatakan bahwa di sana terdapat banyak sekali bintang-bintang
yang akan kehilangan panasnya dan padam serta akan menjadi lubang/titik hitam.
Mereka juga memperkirakan apa yang akan dihasilkan dari radiasi tersebut berupa
bertambahnya kepadatan benda yang mengalami radiasi. Berikutnya, mereka
menyatakan bahwa ketika matahari kehilangan sebagian besar panasnya maka hal
itu akan menambah kepadatannya dan berikutnya akan menambah gaya tarik (grafitasi)nya!!! Maka semua benda
akan tersedot olehnya. Dengan demikian, dunia akan berakhir. Itulah pendapat
mereka. Tidak penting bagi kita apa
pendapat mereka tentang pembahasan mereka itu. Hanya saja, postulat tersebut
bersifat akal, bahwa setiap benda yang memiliki suhu akan mengalami penurunan
suhu hingga sama dengan lingkungannya.
Hal itu berarti bahwa benda-benda langit yang memancarkan panas tidak
memerlukan waktu yang lama untuk menyamai suhu lingkungannya. Hal itu berarti
benda-benda tersebut memiliki titik permulaan dimana dia mulai, yakni
benda-benda tersebut tidak bersifat azali. Ini dapat diterima oleh akal sehat.
Hal inilah yang kami artikan sebagai perkara yang bersifat akliyah dan dibangun
berdasarkan akal.
Adapun kriteria kedua adalah
kesesuaian pemikiran tersebut dengan fakta manusia. Firman Allah SWT: {“Fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada
perubahan pada fitrah tersebut. Itulah agama yang lurus.”}(Q. S. Ar-Rum:
30). Kita sudah mengetahui fakta tentang benda-benda dengan pengetahuan yang sebenarnya. Kita juga
mendalaminya sehingga kita mampu untuk menetapkan hukum terhadapnya dan hukum
yang kita tetapkan itu sesuai dengan faktanya. Maksudnya, kita sudah mengukur
fakta benda-benda tersebut dan informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta
tersebut berdasarkan kaidah-kaidah yang bersifat akliyah. Oleh karena itu,
kesimpulannya pun sesuai dengan faktanya secara sempurna. Demikian pula,
perkara yang berkaitan dengan masalah fitrah tersebut mengharuskan adanya
pengetahuan tentang fakta manusia dengan pengetahuan yang sebenarnya dan
mengukur pengetahuan tersebut berdasarkan postulat dan kaidah-kaidah yang
bersifat akliyah.
Oleh karena itu, harus terdapat
pengetahuan fakta manusia dengan pengetahuan yang sebenarnya. Adanya
informasi-informasi tentang manusia tersebut sudah cukup untuk menafsirkan dan
mengetahui hakekat manusia yang sebenarnya. Kemudian, melakukan pengujian
terhadap informasi-informasi dan fakta manusia tersebut berdasarkan postulat
dan kaidah-kaidah yang bersifat akliyah, dalam rangka menetapkan hukum atas
manusia tersebut. Hal itu dilakukan agar penetapan hukum atas manusia tersebut
sesuai dengan fakta. Betul, harus terdapat pengetahuan tentang fakta manusia
karena manusia itu merupakan manathu taklif (objek pembebanan hukum
syara, pen.), topik pembahasan, pembahas dan juga pihak yang mencari makna
keberadaannya dalam kehidupan sehingga dia dapat mengendalikan perjalanan
hidupnya. Manusia adalah makhluk yang senantiasa mencari kebahagiaan. Oleh
karena itu, benda-benda yang hendak kita hukumi -dikaitkan dengan keberadaannya
yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal- juga harus sesuai dengan
fakta manusia tersebut yakni sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Kita
tidak akan mungkin dapat mengetahui kesesuaian atau pertentangannya dengan
fitrah kecuali apabila kita mengetahui unsur-unsur pembentuk manusia dan
perkara-perkara yang menentramkan jiwanya. Dengan demikian, dia dapat menjaga
fitrah tersebut pada jalan yang lurus dan ketenangan yang langgeng serta dapat
membebaskan dirinya dari penderitaan yang dialaminya dan dari keadaaan-keadaan
yang menggoncangkannya. Dengan hal itu kita berharap akan dapat menempati
kedudukan sebagai manusia yang telah Allah muliakan. Oleh karena itu, harus ada
upaya tafaquh (pengkajian mendalam) atas fakta manusia tersebut.
Sejak awal sudah kami katakan bahwa
manusia akan menjalankan tindakannya dan mengatur perilakunya sesuai dengan
pemahamannya tentang kehidupan. Pemahaman tersebut merupakan kumpulan
pemikiran-pemikiran yang dia yakini dan diketahui faktanya. Pemikiran-pemikiran
tersebut merupakan kumpulan hukum-hukum yang dihasilkan oleh akal atas
fakta-fakta, peristiwa-peristiwa dan benda-benda, dalam rangka menentukan
posisinya terhadap hal-hal tersebut. Berdasarkan hal itu, jelaslah bahwa
perkara yang menentukan perilaku manusia adalah kekuatan akal yang telah Allah
ciptakan untuknya. Oleh karena itu, hukum-hukum yang dihasilkan oleh kekuatan akal
manusia tersebut harus sesuai dan selaras dengan unsur-unsur pembentuk manusia
serta mengokohkan faktor-faktor yang dapat menentramkan dan menenangkannya.
Dengan kata lain, pemikiran yang
menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan itu harus sesuai dengan
fitrah manusia dan penciptaannya yakni sesuai dengan unsur-unsur pembentuk
sosok manusia tersebut. Lalu apa unsur-unsur pembentuk manusia tersebut?
Pertama, unsur-unsur yang berupa
organ tubuh.
Merupakan sesuatu yang sudah
diketahui secara umum bahwa unsur-unsur yang berupa organ tubuh manusia
mengharuskan adanya zat-zat penting yang mesti dipenuhi untuk menjaga tubuh
manusia dari kebinasaan serta memelihara perkembangannya dan kekuatannya untuk
melakukan gerak. Semua itu akan terwujud apabila tercukupinya apa-apa yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia berupa makanan dan minuman, zat-zat yang
dikandung oleh makanan dan minuman tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh dan apa
yang dibutuhkan manusia secara langsung seperti oksigen dan sebagainya. Sebagaimana
manusia membutuhkan kekuatan dan pertumbuhan, manusia juga harus membuang
zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan dan berlebihan dari tubuh. Dengan demikian,
pemikiran mendasar apapun yang tidak
memperhatikan unsur-unsur pembentuk organ tubuh manusia tersebut, tidak
sesuai dengan kebutuhannya dan tidak berupaya untuk memenuhi kebutuhannya itu
maka pemikiran itu merupakan pemikiran yang destruktif, yang akan menghancurkan
umat manusia dan membinasakan kehidupannya.
Kedua, unsur-unsur naluri (jiwa).
Merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara umum pula bahwa menusia sangat
berambisi untuk mempertahankan kehidupannya. Keinginannya tersebut merupakan
perkara yang utama yang diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Demikian
pula, keinginannya untuk mempertahankan kelestarian umat manusia tidak kalah
oleh keinginannya untuk mempertahankan dirinya. Dengan demikian, perhatiannya
terhadap orang tuanya dan anaknya serta
kerelaannya untuk mengorbankan jiwa raganya dan hartanya menampakkan dengan
jelas kepada kita bahwa perkara yang berkaitan dengan keinginannya untuk
mempertahankan kelestarian jenis manusia merupakan urusan utama yang dijadikan
sebagai qadhiyah mashiriyah yaitu dijadikan sebagai perkara hidup dan
mati. Saya suka memperhatikan bagian-bagian penting yang dapat menjaga
kelestarian manusia dan saya akan menyampaikan bagian dari hal itu dalam bentuk
poin-poinnya saja. Dengan menggunakan hal itu, saya akan mendefinikan masalah
cita-cita. Dengan demikian, masalah cita-cita merupakan topik yang sangat jelas
untuk dilihat dan diketahui bahwa hal itu merupakan salah satu masalah utama
yang dijadikan manusia sebagai masalah hidup dan mati. Kelestarian jenis manusia dan kemanusian
merupakan perkara yang sangat penting dan juga merupakan masalah yang utama.
Manusia sangat membutuhkan pelindung
yang akan menjaganya dari bahaya dan menjadi tempat mengadu ketika mempunyai
kebutuhan pada saat sedikit sekali orang yang dapat menolong dan tidak ada
orang yang dapat membantu. Yakni ketika seseorang tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhannya atau menjaga keamanannya. Perasaan jiwa dan perasaan subjektif
yang memberikan dorongan (melakukan sesuatu) disebut sebagai gharizah
(naluri). Naluri tersebut merupakan potensi tersembunyi dan merupakan
stimulan-stimulan yang mendorong manusia untuk bergerak dan bertahan sepanjang
waktu.
Walaupun sebagian orang berpendapat
bahwa naluri tersebut terbagi menjadi lebih dari seratus jenis, tetapi kami
memasukkan semua penampakkan yang dianggap sebagai naluri oleh mereka itu ke dalam bagian pokoknya yaitu yang
menjadi titik tolak dari penampakkan-penampakkan tersebut. Dengan demikian,
naluri itu tidak lebih dari tiga jenis kategori pokok, yang meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia yaitu kecintaan dan keinginan manusia untuk tetap eksis,
kecintaan dan keinginannya terhadap jenisnya yaitu jenis manusia untuk terus
berkembang biak, serta kecintaan dan keinginannya terhadap rasa aman dan
ketentraman. Setiap kategori pokok memiliki sejumlah penampakkan yang akan
muncul setiap kali terdapat stimulan yang merangsang kemunculannya. Dengan
demikian, manusia akan merasa takut ketika menemukan stimulan yang membuatnya
merasa takut, bisa jadi karena sebuah fakta yang menjelma di hadapannya yang
membangkitkan rasa takutnya, bisa jadi pula karena timbulnya pikiran-pikiran
ketakutan terhadap fakta yang menjelma dalam benaknya bahwa hal itu ada di luar
dirinya. Hal itu muncul karena keinginannya untuk menjaga kelestariannya,
menjaga keselamatan jiwanya dan menjaga kelangsungan hidupnya. Seorang pemuda
akan terbangkitkan rasa tertariknya pada lawan jenis ketika ada seorang pemudi
atau adanya pemikiran mengenai seorang
pemudi yang menjelma dalam benaknya. Hal itu merupakan keinginan jiwanya untuk
melestarikan jenisnya yaitu manusia. Hal itu juga merupakan perkara yang
mendorongnya untuk senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah ketika berada
dalam kebuntuan dimana tidak ditemukan lagi orang yang dapat menolongnya atau
ketika memikirkan kejadian yang berada diluar jangkauannya.
Masing-masing dari ketiga jenis
naluri tersebut memiliki sejumlah penampakan. Jiwa manusia akan merasa tertekan
setiap kali dalam dirinya muncul kebutuhan yang bersifat naluriah yang berasal
dari salah satu naluri tersebut atau muncul salah satu penampakan dari
naluri-naluri tersebut. Hal itu akan mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan
tersebut atau mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Faktor yang
menekan jiwa manusia itu akan senatiasa menyebabkan manusia merasa resah dan
gelisah sampai penyebab kebutuhan itu hilang atau teralihkan atau terbayang
dalam dirinya cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Tidak bisa dikatakan
bahwa perkara-perkara itu bukanlah merupakan perkara yang inheren dalam diri
manusia, melainkan merupakan sifat-sifat hasil perolehan dan merupakan sesuatu
yang dibentuk oleh keadaan dan lingkungan hidup manusia. Tidak bisa dikatakan
demikian, karena dapat disaksikan bahwa seorang anak sejak dia lahir telah
memiliki perkara-perkara tersebut dan hal itu dapat disaksikan dengan jelas,
sebelum dia mampu meniru dan melakukan sesuatu. Dengan demikian, kerinduannya
kepada ibunya, jeritannya ketika merasa sakit dan keinginannya untuk memiliki
segala sesuatu yang ada di sekelilingnya; semuanya itu menegaskan fitrah
perkara-perkara tersebut dalam dirinya dan bukan sesuatu yang dihasilkan dari
masyarakatnya. Keberadaannya tidak dapat dipungkiri kecuali oleh orang yang
sombong dan kita berlindung kepada Allah dari kesombongan itu. Adakah orang
yang lebih sombong dari orang-orang yang mengatakan bahwa naluri untuk memiliki
sesuatu dibentuk oleh masyarakat kapitalisme dan oleh pemahaman-pemahaman yang
berasal dariny dan bahwa dalam diri manusia tidak terdapat naluri untuk
memiliki sesuatu, melainkan merupakan sifat yang diperoleh sendiri oleh anak
tersebut sejak dia kecil. Jika demikian, lalu siapa yang mengajari seorang anak
untuk berolahraga dan keinginannya untuk menyusu pada ibunya, siapa yang
mengajarinya untuk bermain dan berusaha untuk memiliki mainan orang lain ketika
dia menemukannya?
Itulah gambaran selintas tentang
struktur manusia. Itulah susunan yang bersifat fitrah yang tidak akan dapat
diabaikan atau disepelekan ataupun diubah. {“Fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah
ciptaan Allah tersebut. Itulah agama yang lurus.”}(Q. S. Ar-Rum: 30). Jika
tidak, hal itu akan mengantarkan manusia pada kebinasaan dan kemusnahan karena
mengabaikan kebutuhan jasmani atau naluri melestarikan jenis tersebut atau akan
menyebabkan manusia mengalami kekacauan pikiran, keresahan dan kegelisahan
karena tidak terpenuhinya kebutuhan nalurinya dan perasaan fitahnya. Hal itu
akan menekan saraf-sarafnya sehingga menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.
Demikianlah, gambaran sekilas untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh pemikiran yang menyeluruh tersebut dan sistem
peraturan yang lahir dari pemikiran tersebut terhadap manusia. Itulah sebagai
objek pembahasan dan permasalahan yang hendak dicari solusinya.
Dengan demikian, pemikiran
menyeluruh –akidah- apapun dan solusi-solusi yang lahir dari akidah itu, yang
tidak memperhatikan susunan jiwa manusia tersebut maka pemikiran itu adalah
pemikiran yang salah dan tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan yang
benar, baik bagi manusia sebagai individu maupun bagi masyarakat. Oleh karena
itu, kriteria pertama yaitu bahwa pemikiran tersebut harus bersifat akliyah dan
dibangun berdasarkan akal merupakan kriteria yang benar. Sedangkan kriteria
kedua yaitu kesesuaian pemikiran menyeluruh tersebut dengan fitrah manusia
merupakan kriteria yang benar juga. Apapun pemikiran menyeluruh –akidah- yang
bertentangan dengan kedua kriteria ini atau salah satu dari keduanya maka
pemikiran itu adalah pemikiran yang salah dan tidak akan dapat mengantarkan
pada kebangkitan yang benar.
Oleh karena itu, ketika sebuah
pemikiran menetapkan, misalnya, untuk menghalangi naluri mempertahankan jenis
atau menyebarkan pemikiran kepasturan dan tidak menyukai pernikahan atau
mengharamkannya maka pemikiran tersebut adalah pemikiran yang salah karena
pemikiran tersebut tidak memperhatikan naluri mempertahankan jenis yang
merupakan fitrah manusia. Seandainya semua manusia berpegang pada pemikiran
tersebut maka niscaya ras menusia akan punah setelah sekian tahun menganut
pemikiran tersebut.
[“Sekelompok sahabat pergi ke
rumah-rumah istri-istri Rasulullah SAW untuk bertanya tentang ibadah beliau.
Ketika sudah memperoleh jawaban, mereka seolah-olah berpandangan bahwa ibadah
beliau hanya sedikit. Mereka berkata,”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah
diampuni dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.” Salah
seorang di antara mereka berkata,”Adapun aku melakukan shalat malam dan tidak
tidur sepanjang malam tersebut.” Orang kedua berkata,”Adapun aku melakukan
shaum dan tidak berbuka untuk selamanya.” Orang ketiga berkata,”Adapun aku
menjauhi wanita.” Ketika hal itu sampai kepada Nabi SAW, beliau berkata kepada
orang-orang di yang ada masjid,”Bagaimanakah keadaan orang-orang yang
mengatakan begini dan begitu. Aku melakukan shalat malam tetapi aku juga tidur,
aku melakukan shaum tetapi aku juga berbuka dan aku menikahi wanita. Itulah
sunahku. Siapa saja yang membenci sunahku maka dia bukan termasuk
golonganku.”].
Itu dari aspek pertentangan
pemikiran tersebut dengan fitrah yang telah Allah ciptakan pada diri manusia.
Ketika sebuah pemikiran menyeluruh menghalangi naluri mempertahankan diri atau
menghalangi salah satu penampakannya misalnya keinginan untuk memiliki -yakni
apa yang mereka sebut sebagai naluri untuk memiliki berdasarkan anggapan bahwa
hal itu merupakan kebiasaan hasil bentukan- maka hal itu merupakan kelemahan mereka.
Penampakan naluri untuk memiliki itu terdapat pada anak kecil, yang tidak
diperoleh dari orang-orang sekitarnya maupun dari sesuatu yang lain.
Sesungguhnya upaya untuk menghalangi penampakan naluri tersebut adalah upaya
yang akan mengalami kegagalan. Hal itu akan menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan manusia secara pasti karena bertentangan dengan fitrahnya. Oleh
karena itu, kami katakan,”Sesungguhnya pemikiran tersebut adalah pemikiran
menyeluruh yang salah dan tidak akan dapat membangkitkan manusia dengan
kebangkitan yang benar atau kebangkitan yang akan mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi manusia. Tidak mungkin merealisasikan pemikiran tersebut
kecuali melalui kekerasan dan pemaksaan.
Demikian pula, pemikiran menyeluruh
apapun yang berupaya untuk mencegah manusia dari perasaan membutuhkan terhadap
kekuatan pelindung setiap kali dia dalam keadaan susah atau tertimpa bencana
maka upaya itu akan sia-sia karena tidak akan mampu untuk menghilangkan
perasaan-perasaan tersebut. Dengan demikian, tindakan yang mungkin dilakukan
adalah mengalihkan perasaan mensucikan dan mengagungkan tersebut kepada sesuatu
yang lain. Adapun upaya untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut adalah
tindakan utopis. Maka perasaan itu pun dialihkan untuk mensucikan dan
mengagungkan negara atau seseorang atau pemimpin dan sebagainya. Hal itu persis
seperti upaya pemuasan manusia dengan menolak pernikahan agar dapat memuaskan
jiwanya dengan perbuatan zina atau sodomi. Hal itu merupakan upaya pemuasan
kebutuhan mempertahankan jenis dengan pemuasan yang salah atau pemuasan yang
menyimpang atas sebuah penampakan naluri.
Adapun pemikiran menyeluruh –akidah-
yang benar maka pemikiran itu merupakan pemikiran yang tidak mengabaikan fitrah
manusia yaitu kebutuhan jasmani atau kebutuhan yang bersifat naluri, melainkan
melakukan pengaturan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut secara menyeluruh dan
tidak mengekangnya, serta mengaturnya dengan pengaturan yang rinci dan tidak
melepaskannya dengan sebebas-bebasnya. Tidak boleh membebaskan pemuasan salah
satu kebutuhan tersebut dan mengekang kebutuhan lainnya. Contoh pemikiran
seperti itu -yang telah ditetapkan kebenarannya oleh kriteria kedua, yaitu
kesesuaiannya dengan fitrah manusia- maka kami katakan bahwa contoh pemikiran
menyeluruh seperti itu adalah benar, selama memenuhi dua syarat yaitu:
a.
Bahwa pemikiran tersebut
bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal.
b.
Bahwa pemikiran tersebut sesuai
dengan fitrah manusia.
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pemikiran menyeluruh
-akidah- yakni qoidah fikriyah (kaidah pemikiran) yang dijadikan
landasan pemikiran-pemikiran oleh manusia dan melahirkan sistem peraturan
hidupnya, haruslah memenuhi dua syarat
yaitu bersifat akliyah serta dibangun berdasarkan akal sehingga menghasilkan
kepuasan akal; dan sesuai dengan fitrah manusia yang akan menghasilkan
ketentraman hati. Itulah yang akan mengantarkan pada kebahagiaan manusia.
Aqidah itu juga merupakan kaidah yang dijadikan titik tolak untuk
merealisasikan kebangkitan masyarakat.
Dengan demikian, kepuasan
akal itulah yang dijadikan titik tolak oleh manusia untuk mengatur
urusan-urusannya. Sedangkan kesesuaiannya dengan fitrah adalah faktor yang akan
melahirkan ketentraman hati manusia.