PEMIKIRAN YANG MUSTANIR (CEMERLANG)

 Adapun pemikiran yang mustanir adalah pemikiran yang paling tinggi, yaitu pemikiran yang dapat mengantarkan pada kebangkitan yang sebenarnya. Pemikiran mustanir juga merupakan pemikiran yang membuat perkara-perkara yang samar menjadi jelas terang benderang. Pemikiran yang mustanir tidak cukup hanya sebatas pengetahuan tentang asal muasal benda beserta cabang-cabangnya atau fakta-fakta beserta sebab musababnya atau teks-teks beserta makna-maknanya semata seagaimana yang terdapat dalam pemikiran yang amiq (mendalam), melainkan membutuhkan pengetahuan tentang perkara-perkara yang melingkupi benda-benda tersebut dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya.

            Ketika pembahasan suatu benda dilakukan dengan menggunakan pemikiran yang mustanir maka pembahasan itu tidak cukup hanya sampai pada pengetahuan tentang jenis timbangannya atau susunan zatnya semata, melainkan harus mengetahui pula tentang keadaan dan kondisinya yaitu pengetahuan tentang aturan-aturan yang digunakan untuk menetapkan hukum atas benda tersebut, potensi yang dimilikinya serta potensi yang membuatnya berjalan secara otomatis dan stabil. Kecuali apabila keadaanya berubah menuju keadaan yang lain maka potensi dan penetapan hukum atas benda tersebut juga berubah. 

Dengan demikian, ketika pembahasan tersebut sudah sampai pada pembahasan yang mendalam maka mestilah ditanyakan pula perkara-perkara yang berkaitan dengan benda tersebut, yaitu siapakah yang telah menundukkan benda itu kepada aturan-aturan tersebut dan menjalankannya sesuai dengan keadaan dan kondisinya tersebut. Hal itu berarti penguasaan yang mendalam terhadap bagian-bagian benda itu, aturan-aturan yang digunakan untuk menetapkan hukum atas benda itu dan pengetahuan tentang siapakah yang telah menundukkan benda itu pada atuan-aturan tersebut.

 Oleh karena itu, pemikiran tersebut dinamakan sebagai pemikiran yang mustanir, yaitu tidak ada sesuatu pun yang tertinggal kecuali semuanya itu diliputi oleh kejelasan dan juga disertai penjelasan tentang perkara-perkara yang ada di balik sesuatu tersebut. Tidak cukup hanya dengan pemikiran mendalam dan menolak pemikiran dangkal yang tidak berharga saja. Itulah karakter dari pemikiran yang mustanir dan hal yang membedakannya dengan pemikiran yang mendalam. Itulah pemikiran-pemikiran yang akan menentukan hukum dari tindakan dan tingkah lakunya. Berdasarkan pemikiran mustanir itu manusia membangun pemahaman dan kecenderungannya.

 Dengan pemikiran mustanir itu pula dia dapat menentukan sudut pandangnya tentang kehidupan dan makna keberadaannya dalam kehidupan. Itulah yang akan mengangkat derajat dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Apakah dia rela menjadi orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang rendah? Apakah dia rela memiliki pemikiran yang dangkal dan pandangan yang sempit?

Apakah dia merasa puas dengan pemikiran yang mendalam dan meninggalkan ribuan pertanyaan berkaitan dengan segala sesuatu yang berada di sekitarnya? Apakah dia menghindarkan diri untuk menjawab pertanyaan tentang keterkaitan antara sebab dan musababnya dengan dalih bahwa hal itu terjadi secara kebetulan atau merupakan perubahan yang tiba-tiba terjadi, ketika dia tidak mampu untuk menganalisanya? Ataukah dia mencari kedudukan yang Allah muliakan dan kenikmatan yang telah Allah karuniakan kepadanya yaitu nikmat akal dan kemuliaan sebagai manusia.

 Dengan demikian, dia dapat berpikir sebagai manusia dan menggunakan akalnya untuk memahami benda-benda dan memperoleh kejelasan dari perkara-perkara yang masih samar sehingga dapat mengetahui hakekatnya. Dengan demikian, haruslah melakukan mutaba’ah (monitoring) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, mengkaitkan sebab dengan musababnya, mengetahui keadaan-keadaan dan kondisinya serta mengerahkan upaya untuk mengetahui apa-apa yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga mampu menempuh jalan kebangkitan dan meningkatkan derajat kemuliaannya melalui akal dan pemahamannya. Oleh karena itu, kami katakan,”Manusia akan bangkit karena pemikiran yang dimilikinya berkaitan dengan kehidupan, alam semesta dan manusia; serta tentang keterkaitan antara semua itu dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudah kehidupan dunia ini.”

Hal ini berarti bahwa jalan kebangkitan itu adalah pandangan manusia terhadap manusia itu sendiri, terhadap kehidupan di sekelilingnya dan terhadap alam semesta dimana dia hidup, yang sangat luas ini. Dengan demikian, hal itu memungkinkan manusia untuk mengetahui jalan yang harus ditempuh ketika dia hidup di alam ini. 

Maksudnya, dia dapat mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini. Hal itu tidak akan terjadi pada dirinya kecuali apabila dalam dirinya terdapat pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia dalam rangka menetapkan hakekat yang sebenarnya, apakah dia bersifat azali dan abadi ataukah hanya sebagai makhluk? Apabila dalam dirinya terdapat penetapan bahwa dirinya adalah makhluk, lalu apakah sesuatu yang lebih dulu ada sebelum dirinya? Maksudnya, haruslah membentuk pemikiran tentang 

Yang Maha Pencipta yang menjadi sandaran bagi alam semesta ini. Hal itu sebagaimana keharusan untuk membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang sesuatu yang ada sesudah kehidupan dunia ini. Sepanjang terdapat permulaan dari kehidupan dunia ini maka haruslah ada akhirnya pula, lalu apakah akhir dunia itu? Apakah kaitan antara semua benda itu dengan sesuatu yang ada sebelumnya yaitu Yang Maha Pencipta? Apa kaitan benda-benda itu dengan sesuatu yang ada sesudahnya?

 Maksudnya, apakah di dalamnya terdapat kaitan antara kehidupan dunia dengan sesuatu yang ada sebelumnya? Apakah kaitan antara kehidupan dunia ini dengan sesuatu yang ada sesudahnya? Dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk memahami kehidupan dunia ini, yaitu memahami  jalan yang harus ditempuh ketika dia hidup di dunia ini. Dengan demikian, dia akan mampu untuk mengetahui makna keberadaannya di dunia ini dan mengetahui makna dari kehidupan ini.
            Adapun mengapa harus ada pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu ketika hendak membentuk pemikiran yang menyeluruh tersebut, maka hal itu dikarenakan manusia dipaksa untuk berinteraksi dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dan sama sekali tidak mampu untuk hidup memisahkan diri darinya. Dia adalah seorang individu manusia yang diikat oleh interaksi dengan sesama manusia lainnya, yang mau tidak mau harus dijalaninya. Dia juga akan melihat makhluk hidup di sekitarnya sebagai bagian dari kehidupan yang harus dia ‘pergauli’ dan hidup bersama-sama dengannya di dunia ini. Di muka bumi ini terdapat benda-benda. Benda-benda itu harus dimanfaatkan. 

Dengan benda-benda itu manusia memenuhi kebutuhannya, memuaskan rasa laparnya dan mewujudkan keinginannya. Sesungguhnya Allah telah menundukkan semua yang ada di muka bumi ini untuk manusia. Ringkasnya, bahwa manusia itu adalah gambaran tentang alam semesta dengan semua benda yang ada di dalamnya. Manusia sama dengan alam semesta, yaitu tersusun dari materi. Manusia juga sama dengan makhluk hidup lainnya yaitu mempunyai ruh (nyawa) yang di dalamnya terdapat kehidupan. Tetapi dia menjadi unik dengan kemampuan akalnya yang dapat menundukkan makhluk selain dirinya dan karena akalnya itu pula manusia menjadi objek dari taklif (kewajiban hukum syara). 

Dengan demikian, merupakan suatu keharusan untuk membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Hendaklah dia mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu dan mengetahui kehidupan dimana dia dan sesamanya berada. Hendaklah dia memahami alam semesta tempat dia hidup sehingga dia dapat mengetahui makna kehidupan di dunia ini dan juga dapat mengetahui akibat dari perjalanan waktu yang dihabiskannya. Maksudnya, agar dia mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini.
            Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tanpa membentuk pemikiran menyeluruh tentang alam semesta –tanpa memperhatikan benar atau salahnya jawaban tersebut- maka dia tidak akan mampu mendefinisikan makna keberadaannya dalam kehidupan.

 Akibatnya, dia akan hidup tanpa arah. Keinginannya hanya memuaskan sebesar mungkin kenikmatan jasmaninya sehingga tidak ada bedanya dengan hewan, jika tidak dikatakan lebih buruk dari hewan tersebut.

 {“Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat  (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.”}(Q. S. Al-‘Araf: 179). {“Mereka berkata,”Tidaklah kehidupan itu kecuali hanya kehidupan dunia ini saja. kita mati dan hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali waktu.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 24).
            Sesungguhnya pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia tersebut digunakan dalam rangka mengetahui makna kehidupan dunia. Lebih jauh dari pendangan yang menyeluruh terhadap alam semesta, manusia dan kehidupan itu adalah apa yang disebut dengan akidah, dimana akidah tersebut dipahami sebagai “pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan dan manusia; tentang sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; tentang kaitan semua itu dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia serta kaitannya dengan sesuatu yang ada sesudah kehidupan dunia ini”. Oleh karena itu, akidah adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemahaman yang benar tentang kehidupan dunia ini, untuk mengetahui perjalanan waktu yang dihabiskan manusia dalam hidupnya serta mengetahui makna keberadaannya dan apa yang harus dia lakukan dalam kehidupan ini. Maksudnya, bahwa akidah itulah yang menentukan pandangannya tentang lehidupan. 

Dari akidah itulah muncul aturan kehidupannya serta aturan bagi tindakan dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, akidah itu adalah kaidah mendasar yang menjadi landasan seluruh pemikirannya. Hal itu karena akidah tidak akan membiarkan sedikitpun dari segala sesuatu yang memungkinkan panca indra untuk mengindranya kecuali akan dicakup dalam pemikiran yang menyeluruh tersebut. Akidah juga akan memberi jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut baik yang berkaitan dengan perilakunya ataupun yang berkaitan dengan pemikiran.

 Akidah lah yang menjadi kaidah dasar dari pemikiran karena pemikiran sebagai yang telah kami katakan adalah penetapan hukum atas benda-benda atau fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa. Pemikiran yang menyeluruh tersebut telah mencakup segala sesuatu yang memungkinkan untuk diindra. Dengan demikian, akidah itu adalah kaidah yang mendasar dalam menetapkan hukum atas apapun yang terdapat di alam ini, dengan anggapan bahwa semua itu merupakan bagian dari pandangan yang menyeluruh terhadap segala sesuatu yang terdapat di alam ini. 

Adapun mengenai perbuatan dan perilakunya yang harus sesuai dengan pandangan hidupnya serta makna keberadaannya di dalam kehidupan ini, maka hal itu merupakan cabang dari pengetahuannya tentang kaitan antara kehidupan ini dengan sesuatu yang ada sebelumnya dan berkaitan dengan tempat kembalinya setelah menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, seluruh perbuatan dan perilaku manusia adalah cabang dari pengetahuannya tentang hubungannya -sebagai manusia- dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia ini yaitu Zat yang telah menciptakannya dalam kehidupan di alam ini.
           
Tinggal masalahnya yaitu:
            Apakah semua akidah akan dapat menciptakan kebangkitan? Apakah semua akidah itu benar? Sesungguhnya setiap pemikiran yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan manusia; tentang sesuatu yang ada sebelum kehidupan ini dan sesuatu yang ada setelahnya; juga tentang keterkaitan antara kehidupan ini dengan sesuatu yang ada sebelumnya serta keterkaitannya dengan sesuatu yang ada setelahnya -atau apa yang disebut dengan akidah- bisa dijadikan landasan untuk meraih kebangkitan.

Hal itu terjadi karena semua akidah tersebut telah mencakup kaidah yang mendasar berkaitan dengan benda-benda serta mencakup juga kaidah yang mendasar berkaitan dengan semua hubungan, sudut pandang tentang kehidupan dan pengetahuan tentang makna kehidupan. Selanjutnya, akidah tersebut akan memberikan gambaran tentang jalan yang harus ditempuh untuk meraih kebangkitan tersebut. Yakni terjadinya perpindahan  dari suatu  keadaan menuju keadaan lain yang lebih baik, baik berkaitan dengan individu maupun masyarakat. 

Dengan demikian, akidah yang mencakup seluruh asas tersebut adalah landasan bagi kebangkitan, bahkan kebangkitan itu tidak akan sempurna kecuali adanya landasan tersebut dan berdasarkan pada landasan tersebut. Adapun apabila akidah itu bersifat terbatas yakni hanya terbatas pada satu aspek saja dan tidak mencakup aspek lainnya serta mengabaikan sesuatu yang seharusnya dicakup oleh akidah tersebut maka akidah tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan bagi kebangkitan. Bahkan, akidah tersebut tidak layak untuk disebut sebagai akidah apabila dikaitkan dengan definisi akidah yang sudah diuraikan sebelumnya. Walaupun dinamai akidah maka nama itu hanya bersifat majazi semata.

            Adapun bahwa akidah itu adalah pemikiran yang benar atau kaidah yang benar dan akan mengantarkan pada kebangkitan yang benar serta mengubah seseorang atau sebuah masyarakat dari suatu keadaan menuju keadaan lain yang lebih baik maka  dibutuhkan dalil dan bukti atas kebenaran dari pemikiran atau kaidah tersebut. Karena akidah itu merupakan pemikiran yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan manusia maka keberadaannya sebagai sebuah pemikiran harus diukur dengan standar yang dapat  menunjukkan benar dan salahnya pemikiran tersebut yakni sesuai atau tidaknya pemikiran tersebut dengan fakta.

 Hal itu karena sebuah pemikiran merupakan penetapan hukum atas sebuah fakta. Salah satu kriteria benarnya sebuah pemikiran adalah adanya kesesuaian antara pemikiran tersebut dengan fakta. Ketika kita melakukan penilaian terhadap pemikiran dari aspek benar tidaknya pemikiran tersebut, maka hal itu membutuhkan adanya standar yang ajeg dan kriteria yang benar sehingga dapat mengetahui hakekat dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, harus terdapat pengetahuan mengenai standar dan kriteria tersebut sehingga hukum atas pemikiran itu terang dan jelas.
Pemikiran itu adalah penetapan hukum yang bersifat akal atas fakta tertentu. Ketika kami mengatakan bahwa pemikiran itu adalah penetapan hukum yang bersifat akal maka penetapan hukum itu harus didasarkan pada akal yakni kaidah-kaidah yang berdasarkan akal yang benar. Maksudnya, menjadikan akal sebagai hukum atas pemikiran tersebut serta menilai kebenaran pemikiran tersebut berdasarkan apa yang diputuskan akal sehat.
            Misalnya akal menetapkan bahwa di balik jejak pasti ada sesuatu yang meninggalkan jejak tersebut, bahwa di balik setiap peraturan pasti ada orang yang mengaturnya, bahwa setiap yang diatur oleh sebuah aturan pasti memerlukan orang yang mengaturnya, bahwa orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya maka dia memerlukan bantuan dan bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak akan dapat memberikan sesuatu itu. Akal yang sehat juga menyatakan bahwa tidak mungkin menyatukan dua hal yang bertolak belakang, akal juga dapat memutuskan tentang suatu benda apakah dia ada atau tidak ada. Itu adalah sebagian dari kaidah yang benar berdasarkan akal. 

Dengan demikian, haruslah membangun hukum-hukum berdasarkan akal, mengukur pemikiran dan pandangan berdasarkan akal itu dan menyandarkan penetapan hukum pada akal tersebut. Akan tetapi ketika manusia tidak mengetahui kaidah-kaidah tersebut dan yang semisalnya atau menetapkan hukum yang berbeda dengan akal sehat tersebut maka kita katakan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang bersifat akal tetapi tidak dibangun berdasarkan akal. Maksudnya, hukum itu tidak dibangun berdasarkan kaidah-kaidah tersebut atau tidak disandarkan pada kriteria-kreteria tersebut. Itulah perkara-perkara yang sudah disepakati oleh orang-orang yang berakal.
            Dengan demikian, kriteria awal untuk menilai benarnya pemikiran tersebut –akidah- adalah bahwa pemikiran itu harus dibangun berdasarkan akal sehingga setiap orang yang berakal merasa puas dengan pemikiran tersebut, tidak menyisakan pertanyaan yang belum dijawab, tidak menyamakan keberadaannya dan ketidakadaannya, tidak merasa puas dengan penyelesaian yang bersifat jalan tengah dan  tidak menjadikan materi sebagai sumber pemikiran. Dengan demikian, syarat pertama berkaitan dengan benar tidaknya sebuah pemikiran adalah bahwa pemikiran tersebut harus bersifat akliyah dan dibangun berdasarkan akal.
            Adapun kriteria kedua adalah kriteria yang berasal dari jenis yang lain.
            Pembahasan tentang hal ini berkaitan dengan manusia dan makna keberadaannya dalam kehidupan. Dengan adanya pembahasan ini, manusia akan mengetahui bagaimana dia harus menjalani kehidupan serta mengatur perilaku dan tindakannya sesuai dengan pemahamannya mengenai makna kehidupan tersebut. Oleh karena itu, fakta tentang manusia dan pemahaman tentang hakekat manusia tersebut merupakan objek dari pembahasan ini. Hal itu karena manusia merupakan fakta yang ingin kita pikirkan. Dengan demikian, pemikiran tentang manusia tersebut menjadi pemikiran yang benar yaitu sesuai dengan faktanya. Hal itu karena pemikiran yang benar adalah pemikiran yang sesuai dengan faktanya. Oleh karena itu, apakah hakekat manusia itu? Yakni apakah fitah penciptaan manusia itu?
            Kedua kriteria itulah yang harus dijadikan dasar dalam menilai pemikiran yang menyeluruh (akidah) tersebut. Kriteria pertama adalah bahwa pemikiran itu harus bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal. Kriteria kedua adalah kesesuaian pemikiran tersebut dengan fakta manusia yakni kesesuaiannya dengan fitrah penciptaannya.
Kriteria yang pertama saya artikan sebagai kepuasan yang bersifat akliyah dan dibangun berdasarkan akal. Tidak boleh terdapat asumsi bahwa setiap pembahasan yang bersifat akal adalah pembahasan yang dibangun berdasarkan akal atau bahwa setiap pemikiran yang dihukumi oleh akal berdasarkan fakta tertentu adalah benar dan dibangun berdasarkan akal.

 Ketika pembahasan yang bersifat akal serta penetapan hukum atas benda-benda, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa membutuhkan sejumlah elemen, kaidah dan kriteria tertentu, maka pembahasan tersebut harus menggunakan ketiga hal itu –sejumlah elemen, kaidah dan keriteria- ketika melakukan aktivitas berpikir yang bertujuan untuk menetapkan hukum atas suatu benda atau fakta atau peristiwa. Kebenaran hukum atas hal itu (benda, fakta dan peristiwa) bergantung pada benarnya elemen, kaidah dan kriteria tersebut karena aktivitas berpikir harus berasal dari akal yang sehat yang dapat mengkaitkan informasi yang ada pada dirinya dengan fakta atau peristiwa tertentu yang dia indra. Elemen-elemen mendasar untuk melakukan aktivitas berpikir ada empat yaitu akal yang sehat, pengindraan yang baik, fakta yang dapat diindra atau dapat digambarkan dalam benak dan informasi yang tersimpan atau yang diperoleh untuk menafsirkan fakta atau peristiwa tersebut. Akal melakukan aktivitas mengkait-kaitkan antar elemen-elemen tersebut dan menetapkan hukum atas benda-benda atau peristiwa tertentu. 

Benar tidaknya kesimpulan dari aktivitas berpikir yang bersifat akal ini bergantung pada ketelitian dalam memahami dan menguasai fakta, kehati-hatian atas kekeliruan pengindraan, keakuratan dan kebenaran informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut serta ketepatan dalam mengkaitkan antara informasi dengan fakta tersebut. Hanya saja, hal itu tidak berarti bahwa penetapan hukum tersebut adalah benar kecuali apabila kaidah-kaidah mendasar dan alat pengukur yang dijadikan asas dalam menghukumi pemikiran-pemikiran dan fakta-fakta tersebut adalah benar dan meyakinkan.
Apabila informasi-informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta itu benar, kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengukur fakta dan informasi itu juga benar, demikian pula aktivitas mengkaitkan antara elemen-elemen itu juga benar maka hukumnya pun akan benar serta dianggap sebagai hukum yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal. Adapun apabila informasinya salah atau kaidah-kaidah dan kriteria-kriterianya tidak logis (tidak masuk akal) atau proses pengkaitan antar elemen tersebut tidak benar maka kesimpulannya pun akan salah. Adapun apabila informasi benar, faktanya benar dan aktivitas pengkaitannya pun benar tetapi kaidah-kaidah dan alat pengukurnya -yang digunakan untuk menilai fakta selama proses pengkaitan tersebut serta digunakan untuk menilai informasi selama proses pengkaitan antara informasi dan fakta tersebut- tidak benar maka aktivitas berpikir itu pun merupakan aktivitas pemikiran yang bersifat akal akan tetapi aktivitas berpikir itu tidak dibangun berdasarkan akal. Hal itu karena kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang digunakan tidak logis dan karena kebenarannya tidak didasarkan pada penetapan akal sehat. Oleh karena itu, kita katakan bahwa kesimpulannya bersifat akal akan tetapi tidak dibangun berdasarkan akal.
Oleh karena itu, pengindraan terhadap fakta saja tidaklah cukup melainkan harus mengetahui fakta tersebut dengan pengetahuan yang dibangun berdasarkan pengindraan yang benar. Dengan demikian, sebelum melakukan penetapan hukum haruslah mengukur fakta tersebut dengan kaidah-kaidah pengindraan yang benar agar kita tidak terkecoh oleh penampakan suatu benda atau menganggap fatamorgana sebagai air. Harus pula terdapat pemahaman atas fakta tersebut yaitu pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek fakta tersebut, kondisi-kondisinya, keadaan-keadaanya dan semua yang berkaitan dengannya. Dengan kata lain, peraturan-peraturan dan perundang-undangan seperti apa yang digunakan untuk menghukumi fakta tersebut dan apakah sebab musababnya. Semua itu harus dilakukan sebelum melakukan aktivitas berpikir yakni mengkaitkan fakta dengan informasi atau mengkaitkan informasi dengan fakta. Harus pula melakukan pengkajian terhadap fakta dan informasi tersebut, kondisi dan keadaannya. Hal itu dilakukan dengan cara mengukur fakta dan informasi tersebut dengan kaidah-kaidah tertentu yang bersifat logis sehingga akan menghilangkan semua kesamaran dan ketidakjelasan yang berkaitan dengan hal itu.
            Setelah melakukan pengindraan yang benar dan dapat memastikan kebenaran pengindraan tersebut, baru kemudian memindahkan pengindraan itu ke otak agar otak dapat memprosesnya sehingga dapat menetapkan hakekat sesuatu yang diindra itu. Hanya saja, otak tidak mungkin melakukan hal itu kecuali apabila otak tersebut mempunyai informasi yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Baik informasi itu sudah tersimpan di dalam otak ataupun hasil perolehan dari kuar. Sebagaimana manusia menilai panca indranya dengan kaidah atau sejumlah kaidah tertentu, maka penilaian terhadap informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut harus pula didasarkan pada kaidah atau sejumlah kaidah yang sama dengan yang digunakan untuk menilai panca indra tersebut. Maksudnya, hendaklah mengukur informasi tersebut dengan kaidah-kaidah yang pasti dan logis sehingga dapat memastikan bahwa informasi tersebut adalah benar, tidak bertentangannya dengan akal sehat dan apa-apa yang dituntut oleh akal sehat. Kemudian, otak melakukan aktivitas pengkaitan antara fakta dan informasi tersebut. Apabila proses pengkaitan itu benar maka kesimpulannya pun akan bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal. Dengan demikian, agar hukum-hukum yang bersifat akal dapat dikatakan sebagai hukum-hukum yang dibangun berdasarkan akal, maka hal itu harus dikembalikan kepada sejumlah kaidah dan postulat (sesuatu yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya, pen.) yang dijadikan sebagai alat untuk mengukur fakta atau informasi selama aktivitas pengkaitan tersebut. Hal itu sebagaimana soal-soal matematika yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan menggunakan rumus-rumus dan tabel. Penggunaan rumus apapun yang salah sudah tentu akan menyebabkan kesimpulan yang salah walaupun menggunakan cara yang benar dalam memecahkannya. Lalu, apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah dan postulat itul? Sesungguhnya kaidah-kaidah dan postulat itu adalah pemikiran yang bersifat umum dan kaidah-kaidah pemikiran yang ditetapkan oleh akal sehat dalam rangka memahami pemikiran-pemikiran yang bersifat cabang dan untuk menetapkan hukum-hukum yang bersifat akal yakni realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut. Contohnya seperti rumus-rumus ilmiah fisika, kimia, matematika, logaritma, akar pangkat dua dan sebagainya. Di semua bidang pengetahuan tersebut sudah ditetapkan postulat-postulat yang bersifat akal yang dapat digunakan untuk membantu memahami perkara-perkara seperti tidak mungkinnya dua hal yang bertolak belakang untuk disatukan, dua lebih banyak dari satu, sebuah garis lurus adalah garis terpendek di antara dua buah titik, setiap jejak pasti ada pembuat jejaknya, setiap keteraturan pasti ada yang mengaturnya dan ribuan contoh lainnya yang termasuk ke dalam kaidah yang terdapat dalam bidang ilmu pengtahuan. Dengan demikian, penggunaan kaidah-kaidah dan postulat-postulat yang bersifat akal selama aktivitas berpikir tersebut dilakukan akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal. Adapun upaya untuk mengkomptomikan antara yang ada dengan sesuatu yang tidak ada atau melakukan sebuah pembahasan dengan jalan tengah atau penyandaran peristiwa kepada proses kebetulan dan gerak reflek atau bahwa benda mati adalah sumber pemikiran dan sebagainya. Semua itu, karena kebatilannya, tidak dapat dijadikan sebagai kaidah-kaidah yang mendasar dan tidak dibenarkan untuk menyebut pemikiran-pemikiran yang dibangun di atas semua itu sebagai pemikiran-pemikiran yang dibagun berdasarkan akal. Dengan demikian, bangunan yang didirikan di atas akal mengharuskan adanya asas yang bersifat akal pula. Maksudnya, kaidah atau sejumlah kaidah yang dijadikan landasan dalam proses pengkaitan tersebut haruslah kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang berasal postulat-postulat atau aksioma yang disepakati (tidak akan dipertentangkan) oleh orang-orang yang berakal.
            Oleh karena itu, ketika kita ingin menetapkan kaidah yang mendasar bagi pemikiran kita maka hal itu harus dilakukan dengan cara membentuk pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan dilihat dari aspek bahwa semua itu merupakan fakta yang memungkinkan untuk diindra dan juga mencakup segala sesuatu yang ada. Dengan demikian, yang harus dilakukan pertama kali untuk mengetahui apakah dia bersifat azali atau sebagai makhluk yang diciptakan adalah dengan cara mengkaji hakekat pemikiran yang menyeluruh tersebut. Fakta yang dapat diindra tersebut yakni alam semesta, manusia dan kehidupan haruslah diperdalam agar dapat mengetahuinya dengan baik dan mengetahui pula keadaan-keadaannya, kondisi-kondisinya serta semua hal yang berkaitan dengannya. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk merujuk pada informasi yang kita miliki yang berkaitan dengan semua itu dan juga merujuk pada aturan-aturan atau rumus-rumus ilmiah. Kemudian, melakukan penilaian terhadap fakta dan informasi yang kita miliki tersebut dengan cara mengukurnya dengan sejumlah kaidah dan kriteria yang berkaitan dengan hal itu. Maka, pada saat itu kita akan menemukan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah terbatas, bahwa semuanya itu adalah membutuhkan kepada yang lain dan bahwa semuanya itu tunduk kepada aturan yang mengaturnya. Pada saat itu, kita juga akan mengetahui bahwa semua bagiannya tunduk kepada aturan-aturan serta mengandung khasiyat (potensi) yang tidak mungkin dapat dihilangkankan. Ketika kita mendapatkan semua fakta dan informasi yang digunakan untuk menafsirkan semua fakta tersebut, kemudian kita ukur dengan kriteria dan kaidah akliyah atau aksioma maka kita akan sampai pada sebuah kebenaran yaitu bahwa di balik aturan itu terdapat pihak yang mengatur dan bahwa setiap yang diatur oleh sebuah aturan maka dia tidak akan dapat keluar dari aturan tersebut. Pada saat itu, kita juga akan menyaksikan kandungan dari fakta tersebut yaitu bahwa suhu matahati berbeda dengan suhu udara yang berada di sekelilingnya. Pada saat itu, kita juga  akan mengetahui bahwa di sana banyak planet yang suhunya juga berbeda dari suhu udara yang berada di sekelilingnya dan bahwa matahari itu memancarkan cahaya yang terang yang berasal dari panasnya. Akan tetapi, suhu cahaya tersebut tidak sama atau tidak seimbang dengan suhu udara yang ada di sekelilingnya. Ketika kita mengkaitkan fakta tersebut dengan kaidah-kaidah dan postulat-postulat tersebut maka akan ditemukan bahwa semua benda memiliki suhu tertentu, yang akan berkurang panasnya secara bertahap hingga sama dengan suhu sekitarnya. Maka, kita dapat menyatakan dengan yakin bahwa planet-planet tersebut tidak mempunyai suhu yang sama dengan suhu yang ada di sekelilingnya. Contohnya seperti kebanyakan benda-benda yang memancarkan cahaya. Maka, kita menyatakan dengan yakin bahwa benda-benda tersebut mempunyai titik permulaan yakni tidak bersifat azali. Dengan demikian, penetapan hukum ini adalah penetapan hukum yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal, yakni dibangun berdasarkan postulat yang bersifat akliyah atau aksioma. Ketika kita sampai pada kesimpulan bahwa benda itu memiliki titik permulaan dan bahwa benda-benda itu tidak bersifat azali maka akal akan menyatakan bahwa benda-benda itu ada yang mengadakannya, bahwa benda-benda itu ada yang memberinya suhu dan bahwa benda-benda itu ada yang menundukannnya pada suatu aturan tertentu yang mengaturnya. Itulah penetapan hukum yang bersifat akliyah yang dibangun berdasarkan akal. Itulah syarat pertama yang digunakan dalam melakukan penetapan hukum atas pemikiran yang menyeluruh (akidah) tersebut sehingga dapat diketahui bahwa pemikiran (akidah) itu benar dan bahwa penetapan hukum tersebut sesuai dengan faktanya secara sempurna sehingga pemikiran itu merupakan pemikiran yang benar. Contoh: bahwa semua benda memiliki suhu yang akan memancarkan radiasi. Apabila suhu udara di sekitarnya tidak sama dengan suhunya maka terjadilah radiasi hingga sama dengan suhu lingkungannya. Dengan demikian, suhunya menjadi seperti suhu lingkungannya. Misalnya secangkir teh. Apabila kita menuangkan air teh ke dalam sebuah cangkir dan suhu teh tersebut tujuh puluh derajat celcius. Maka teh itu mulai mengalami radiasi sehingga suhunya berkurang secara perlahan-lahan hingga mencapai suhu cangkirnya. Seandainya kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat segelas teh yang masih hangat, kita dapat menduga bahwa teh tersebut baru saja dituangkan ke dalam gelas itu. Adapun setelah suhunya sama dengan suhu lingkungannya maka kita tidak dapat memperkirakan kapan teh itu dituangkan. Hanya saja, kita dapat mengatakan bahwa teh itu sudah lama dituangkan ke dalam gelas tersebut. Itulah yang menyebabkan suhunya turun. Dalam hal ini terdapat kriteria lain untuk radiasi. Benda-benda yang bercahaya akan kehilangan bentuknya akibat adanya radiasi tersebut dan kadang-kadang berubah menjadi unsur lain disebabkan hilangnya radiasi tersebut. Oleh karena itu, uranium akan berubah menjadi timah setelah mengalami radiasi. Berdasarkan hal itu, para ilmuwan memisah gumpalan timah yang bermacam-macam dari unsur uranium melalui proses radiasi. Mereka menyebut gumpalan itu sebagai gumpalan(?) setengah umur karena unsur uranium merupakan unsur yang dapat mengalami radiasi dan setelah radiasinya hilang unsur uranium tersebut akan berubah menjadi gumpalan timah. Oleh karena itu, gumpalan itu disebut sebagai gumpalan setengah umur.
            Berdasarkan aturan suhu seperti itu maka mereka memperkirakan kapan matahari akan berhenti. Hal itu dilakukan dengan cara menghitung berapa radiasi suhunya. Mereka mengatakan bahwa matahari itu, setelah sekian tahun akan kehilangan panasnya. Mereka berpendapat lebih jauh lagi dari hal itu dengan menyatakan bahwa di sana terdapat banyak sekali bintang-bintang yang akan kehilangan panasnya dan padam serta akan menjadi lubang/titik hitam. Mereka juga memperkirakan apa yang akan dihasilkan dari radiasi tersebut berupa bertambahnya kepadatan benda yang mengalami radiasi. Berikutnya, mereka menyatakan bahwa ketika matahari kehilangan sebagian besar panasnya maka hal itu akan menambah kepadatannya dan berikutnya akan menambah gaya tarik (grafitasi)nya!!! Maka semua benda akan tersedot olehnya. Dengan demikian, dunia akan berakhir. Itulah pendapat mereka.  Tidak penting bagi kita apa pendapat mereka tentang pembahasan mereka itu. Hanya saja, postulat tersebut bersifat akal, bahwa setiap benda yang memiliki suhu akan mengalami penurunan suhu hingga sama dengan lingkungannya.  Hal itu berarti bahwa benda-benda langit yang memancarkan panas tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyamai suhu lingkungannya. Hal itu berarti benda-benda tersebut memiliki titik permulaan dimana dia mulai, yakni benda-benda tersebut tidak bersifat azali. Ini dapat diterima oleh akal sehat. Hal inilah yang kami artikan sebagai perkara yang bersifat akliyah dan dibangun berdasarkan akal.
            Adapun kriteria kedua adalah kesesuaian pemikiran tersebut dengan fakta manusia. Firman Allah SWT: {“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah tersebut. Itulah agama yang lurus.”}(Q. S. Ar-Rum: 30). Kita sudah mengetahui fakta tentang benda-benda  dengan pengetahuan yang sebenarnya. Kita juga mendalaminya sehingga kita mampu untuk menetapkan hukum terhadapnya dan hukum yang kita tetapkan itu sesuai dengan faktanya. Maksudnya, kita sudah mengukur fakta benda-benda tersebut dan informasi yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut berdasarkan kaidah-kaidah yang bersifat akliyah. Oleh karena itu, kesimpulannya pun sesuai dengan faktanya secara sempurna. Demikian pula, perkara yang berkaitan dengan masalah fitrah tersebut mengharuskan adanya pengetahuan tentang fakta manusia dengan pengetahuan yang sebenarnya dan mengukur pengetahuan tersebut berdasarkan postulat dan kaidah-kaidah yang bersifat akliyah.
            Oleh karena itu, harus terdapat pengetahuan fakta manusia dengan pengetahuan yang sebenarnya. Adanya informasi-informasi tentang manusia tersebut sudah cukup untuk menafsirkan dan mengetahui hakekat manusia yang sebenarnya. Kemudian, melakukan pengujian terhadap informasi-informasi dan fakta manusia tersebut berdasarkan postulat dan kaidah-kaidah yang bersifat akliyah, dalam rangka menetapkan hukum atas manusia tersebut. Hal itu dilakukan agar penetapan hukum atas manusia tersebut sesuai dengan fakta. Betul, harus terdapat pengetahuan tentang fakta manusia karena manusia itu merupakan manathu taklif (objek pembebanan hukum syara, pen.), topik pembahasan, pembahas dan juga pihak yang mencari makna keberadaannya dalam kehidupan sehingga dia dapat mengendalikan perjalanan hidupnya. Manusia adalah makhluk yang senantiasa mencari kebahagiaan. Oleh karena itu, benda-benda yang hendak kita hukumi -dikaitkan dengan keberadaannya yang bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal- juga harus sesuai dengan fakta manusia tersebut yakni sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Kita tidak akan mungkin dapat mengetahui kesesuaian atau pertentangannya dengan fitrah kecuali apabila kita mengetahui unsur-unsur pembentuk manusia dan perkara-perkara yang menentramkan jiwanya. Dengan demikian, dia dapat menjaga fitrah tersebut pada jalan yang lurus dan ketenangan yang langgeng serta dapat membebaskan dirinya dari penderitaan yang dialaminya dan dari keadaaan-keadaan yang menggoncangkannya. Dengan hal itu kita berharap akan dapat menempati kedudukan sebagai manusia yang telah Allah muliakan. Oleh karena itu, harus ada upaya tafaquh (pengkajian mendalam) atas fakta manusia tersebut.
            Sejak awal sudah kami katakan bahwa manusia akan menjalankan tindakannya dan mengatur perilakunya sesuai dengan pemahamannya tentang kehidupan. Pemahaman tersebut merupakan kumpulan pemikiran-pemikiran yang dia yakini dan diketahui faktanya. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan kumpulan hukum-hukum yang dihasilkan oleh akal atas fakta-fakta, peristiwa-peristiwa dan benda-benda, dalam rangka menentukan posisinya terhadap hal-hal tersebut. Berdasarkan hal itu, jelaslah bahwa perkara yang menentukan perilaku manusia adalah kekuatan akal yang telah Allah ciptakan untuknya. Oleh karena itu, hukum-hukum yang dihasilkan oleh kekuatan akal manusia tersebut harus sesuai dan selaras dengan unsur-unsur pembentuk manusia serta mengokohkan faktor-faktor yang dapat menentramkan dan menenangkannya. Dengan kata lain,  pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan itu harus sesuai dengan fitrah manusia dan penciptaannya yakni sesuai dengan unsur-unsur pembentuk sosok manusia tersebut. Lalu apa unsur-unsur pembentuk manusia tersebut?
            Pertama, unsur-unsur yang berupa organ tubuh.
            Merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara umum bahwa unsur-unsur yang berupa organ tubuh manusia mengharuskan adanya zat-zat penting yang mesti dipenuhi untuk menjaga tubuh manusia dari kebinasaan serta memelihara perkembangannya dan kekuatannya untuk melakukan gerak. Semua itu akan terwujud apabila tercukupinya apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh manusia berupa makanan dan minuman, zat-zat yang dikandung oleh makanan dan minuman tersebut yang dibutuhkan oleh tubuh dan apa yang dibutuhkan manusia secara langsung seperti oksigen dan sebagainya. Sebagaimana manusia membutuhkan kekuatan dan pertumbuhan, manusia juga harus membuang zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan dan berlebihan dari tubuh. Dengan demikian, pemikiran mendasar apapun yang tidak  memperhatikan unsur-unsur pembentuk organ tubuh manusia tersebut, tidak sesuai dengan kebutuhannya dan tidak berupaya untuk memenuhi kebutuhannya itu maka pemikiran itu merupakan pemikiran yang destruktif, yang akan menghancurkan umat manusia dan membinasakan kehidupannya.
            Kedua, unsur-unsur naluri (jiwa). Merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara umum pula bahwa menusia sangat berambisi untuk mempertahankan kehidupannya. Keinginannya tersebut merupakan perkara yang utama yang diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Demikian pula, keinginannya untuk mempertahankan kelestarian umat manusia tidak kalah oleh keinginannya untuk mempertahankan dirinya. Dengan demikian, perhatiannya terhadap orang tuanya dan  anaknya serta kerelaannya untuk mengorbankan jiwa raganya dan hartanya menampakkan dengan jelas kepada kita bahwa perkara yang berkaitan dengan keinginannya untuk mempertahankan kelestarian jenis manusia merupakan urusan utama yang dijadikan sebagai qadhiyah mashiriyah yaitu dijadikan sebagai perkara hidup dan mati. Saya suka memperhatikan bagian-bagian penting yang dapat menjaga kelestarian manusia dan saya akan menyampaikan bagian dari hal itu dalam bentuk poin-poinnya saja. Dengan menggunakan hal itu, saya akan mendefinikan masalah cita-cita. Dengan demikian, masalah cita-cita merupakan topik yang sangat jelas untuk dilihat dan diketahui bahwa hal itu merupakan salah satu masalah utama yang dijadikan manusia sebagai masalah hidup dan mati.  Kelestarian jenis manusia dan kemanusian merupakan perkara yang sangat penting dan juga merupakan masalah yang utama.
            Manusia sangat membutuhkan pelindung yang akan menjaganya dari bahaya dan menjadi tempat mengadu ketika mempunyai kebutuhan pada saat sedikit sekali orang yang dapat menolong dan tidak ada orang yang dapat membantu. Yakni ketika seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya atau menjaga keamanannya. Perasaan jiwa dan perasaan subjektif yang memberikan dorongan (melakukan sesuatu) disebut sebagai gharizah (naluri). Naluri tersebut merupakan potensi tersembunyi dan merupakan stimulan-stimulan yang mendorong manusia untuk bergerak dan bertahan sepanjang waktu.
            Walaupun sebagian orang berpendapat bahwa naluri tersebut terbagi menjadi lebih dari seratus jenis, tetapi kami memasukkan semua penampakkan yang dianggap sebagai       naluri oleh mereka itu ke dalam bagian pokoknya yaitu yang menjadi titik tolak dari penampakkan-penampakkan tersebut. Dengan demikian, naluri itu tidak lebih dari tiga jenis kategori pokok, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yaitu kecintaan dan keinginan manusia untuk tetap eksis, kecintaan dan keinginannya terhadap jenisnya yaitu jenis manusia untuk terus berkembang biak, serta kecintaan dan keinginannya terhadap rasa aman dan ketentraman. Setiap kategori pokok memiliki sejumlah penampakkan yang akan muncul setiap kali terdapat stimulan yang merangsang kemunculannya. Dengan demikian, manusia akan merasa takut ketika menemukan stimulan yang membuatnya merasa takut, bisa jadi karena sebuah fakta yang menjelma di hadapannya yang membangkitkan rasa takutnya, bisa jadi pula karena timbulnya pikiran-pikiran ketakutan terhadap fakta yang menjelma dalam benaknya bahwa hal itu ada di luar dirinya. Hal itu muncul karena keinginannya untuk menjaga kelestariannya, menjaga keselamatan jiwanya dan menjaga kelangsungan hidupnya. Seorang pemuda akan terbangkitkan rasa tertariknya pada lawan jenis ketika ada seorang pemudi atau adanya pemikiran  mengenai seorang pemudi yang menjelma dalam benaknya. Hal itu merupakan keinginan jiwanya untuk melestarikan jenisnya yaitu manusia. Hal itu juga merupakan perkara yang mendorongnya untuk senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah ketika berada dalam kebuntuan dimana tidak ditemukan lagi orang yang dapat menolongnya atau ketika memikirkan kejadian yang berada diluar jangkauannya.
            Masing-masing dari ketiga jenis naluri tersebut memiliki sejumlah penampakan. Jiwa manusia akan merasa tertekan setiap kali dalam dirinya muncul kebutuhan yang bersifat naluriah yang berasal dari salah satu naluri tersebut atau muncul salah satu penampakan dari naluri-naluri tersebut. Hal itu akan mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut atau mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Faktor yang menekan jiwa manusia itu akan senatiasa menyebabkan manusia merasa resah dan gelisah sampai penyebab kebutuhan itu hilang atau teralihkan atau terbayang dalam dirinya cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Tidak bisa dikatakan bahwa perkara-perkara itu bukanlah merupakan perkara yang inheren dalam diri manusia, melainkan merupakan sifat-sifat hasil perolehan dan merupakan sesuatu yang dibentuk oleh keadaan dan lingkungan hidup manusia. Tidak bisa dikatakan demikian, karena dapat disaksikan bahwa seorang anak sejak dia lahir telah memiliki perkara-perkara tersebut dan hal itu dapat disaksikan dengan jelas, sebelum dia mampu meniru dan melakukan sesuatu. Dengan demikian, kerinduannya kepada ibunya, jeritannya ketika merasa sakit dan keinginannya untuk memiliki segala sesuatu yang ada di sekelilingnya; semuanya itu menegaskan fitrah perkara-perkara tersebut dalam dirinya dan bukan sesuatu yang dihasilkan dari masyarakatnya. Keberadaannya tidak dapat dipungkiri kecuali oleh orang yang sombong dan kita berlindung kepada Allah dari kesombongan itu. Adakah orang yang lebih sombong dari orang-orang yang mengatakan bahwa naluri untuk memiliki sesuatu dibentuk oleh masyarakat kapitalisme dan oleh pemahaman-pemahaman yang berasal dariny dan bahwa dalam diri manusia tidak terdapat naluri untuk memiliki sesuatu, melainkan merupakan sifat yang diperoleh sendiri oleh anak tersebut sejak dia kecil. Jika demikian, lalu siapa yang mengajari seorang anak untuk berolahraga dan keinginannya untuk menyusu pada ibunya, siapa yang mengajarinya untuk bermain dan berusaha untuk memiliki mainan orang lain ketika dia menemukannya?
            Itulah gambaran selintas tentang struktur manusia. Itulah susunan yang bersifat fitrah yang tidak akan dapat diabaikan atau disepelekan ataupun diubah. {“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah ciptaan Allah tersebut. Itulah agama yang lurus.”}(Q. S. Ar-Rum: 30). Jika tidak, hal itu akan mengantarkan manusia pada kebinasaan dan kemusnahan karena mengabaikan kebutuhan jasmani atau naluri melestarikan jenis tersebut atau akan menyebabkan manusia mengalami kekacauan pikiran, keresahan dan kegelisahan karena tidak terpenuhinya kebutuhan nalurinya dan perasaan fitahnya. Hal itu akan menekan saraf-sarafnya sehingga menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.
            Demikianlah, gambaran sekilas untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pemikiran yang menyeluruh tersebut dan sistem peraturan yang lahir dari pemikiran tersebut terhadap manusia. Itulah sebagai objek pembahasan dan permasalahan yang hendak dicari solusinya.
            Dengan demikian, pemikiran menyeluruh –akidah- apapun dan solusi-solusi yang lahir dari akidah itu, yang tidak memperhatikan susunan jiwa manusia tersebut maka pemikiran itu adalah pemikiran yang salah dan tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan yang benar, baik bagi manusia sebagai individu maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu, kriteria pertama yaitu bahwa pemikiran tersebut harus bersifat akliyah dan dibangun berdasarkan akal merupakan kriteria yang benar. Sedangkan kriteria kedua yaitu kesesuaian pemikiran menyeluruh tersebut dengan fitrah manusia merupakan kriteria yang benar juga. Apapun pemikiran menyeluruh –akidah- yang bertentangan dengan kedua kriteria ini atau salah satu dari keduanya maka pemikiran itu adalah pemikiran yang salah dan tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan yang benar.
            Oleh karena itu, ketika sebuah pemikiran menetapkan, misalnya, untuk menghalangi naluri mempertahankan jenis atau menyebarkan pemikiran kepasturan dan tidak menyukai pernikahan atau mengharamkannya maka pemikiran tersebut adalah pemikiran yang salah karena pemikiran tersebut tidak memperhatikan naluri mempertahankan jenis yang merupakan fitrah manusia. Seandainya semua manusia berpegang pada pemikiran tersebut maka niscaya ras menusia akan punah setelah sekian tahun menganut pemikiran tersebut.
            [“Sekelompok sahabat pergi ke rumah-rumah istri-istri Rasulullah SAW untuk bertanya tentang ibadah beliau. Ketika sudah memperoleh jawaban, mereka seolah-olah berpandangan bahwa ibadah beliau hanya sedikit. Mereka berkata,”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.” Salah seorang di antara mereka berkata,”Adapun aku melakukan shalat malam dan tidak tidur sepanjang malam tersebut.” Orang kedua berkata,”Adapun aku melakukan shaum dan tidak berbuka untuk selamanya.” Orang ketiga berkata,”Adapun aku menjauhi wanita.” Ketika hal itu sampai kepada Nabi SAW, beliau berkata kepada orang-orang di yang ada masjid,”Bagaimanakah keadaan orang-orang yang mengatakan begini dan begitu. Aku melakukan shalat malam tetapi aku juga tidur, aku melakukan shaum tetapi aku juga berbuka dan aku menikahi wanita. Itulah sunahku. Siapa saja yang membenci sunahku maka dia bukan termasuk golonganku.”].
            Itu dari aspek pertentangan pemikiran tersebut dengan fitrah yang telah Allah ciptakan pada diri manusia. Ketika sebuah pemikiran menyeluruh menghalangi naluri mempertahankan diri atau menghalangi salah satu penampakannya misalnya keinginan untuk memiliki -yakni apa yang mereka sebut sebagai naluri untuk memiliki berdasarkan anggapan bahwa hal itu merupakan kebiasaan hasil bentukan- maka  hal itu merupakan kelemahan mereka. Penampakan naluri untuk memiliki itu terdapat pada anak kecil, yang tidak diperoleh dari orang-orang sekitarnya maupun dari sesuatu yang lain. Sesungguhnya upaya untuk menghalangi penampakan naluri tersebut adalah upaya yang akan mengalami kegagalan. Hal itu akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan manusia secara pasti karena bertentangan dengan fitrahnya. Oleh karena itu, kami katakan,”Sesungguhnya pemikiran tersebut adalah pemikiran menyeluruh yang salah dan tidak akan dapat membangkitkan manusia dengan kebangkitan yang benar atau kebangkitan yang akan mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia. Tidak mungkin merealisasikan pemikiran tersebut kecuali melalui kekerasan dan pemaksaan.
            Demikian pula, pemikiran menyeluruh apapun yang berupaya untuk mencegah manusia dari perasaan membutuhkan terhadap kekuatan pelindung setiap kali dia dalam keadaan susah atau tertimpa bencana maka upaya itu akan sia-sia karena tidak akan mampu untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. Dengan demikian, tindakan yang mungkin dilakukan adalah mengalihkan perasaan mensucikan dan mengagungkan tersebut kepada sesuatu yang lain. Adapun upaya untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut adalah tindakan utopis. Maka perasaan itu pun dialihkan untuk mensucikan dan mengagungkan negara atau seseorang atau pemimpin dan sebagainya. Hal itu persis seperti upaya pemuasan manusia dengan menolak pernikahan agar dapat memuaskan jiwanya dengan perbuatan zina atau sodomi. Hal itu merupakan upaya pemuasan kebutuhan mempertahankan jenis dengan pemuasan yang salah atau pemuasan yang menyimpang atas sebuah penampakan naluri.
            Adapun pemikiran menyeluruh –akidah- yang benar maka pemikiran itu merupakan pemikiran yang tidak mengabaikan fitrah manusia yaitu kebutuhan jasmani atau kebutuhan yang bersifat naluri, melainkan melakukan pengaturan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut secara menyeluruh dan tidak mengekangnya, serta mengaturnya dengan pengaturan yang rinci dan tidak melepaskannya dengan sebebas-bebasnya. Tidak boleh membebaskan pemuasan salah satu kebutuhan tersebut dan mengekang kebutuhan lainnya. Contoh pemikiran seperti itu -yang telah ditetapkan kebenarannya oleh kriteria kedua, yaitu kesesuaiannya dengan fitrah manusia- maka kami katakan bahwa contoh pemikiran menyeluruh seperti itu adalah benar, selama memenuhi dua syarat yaitu:
a.       Bahwa pemikiran tersebut bersifat akal dan dibangun berdasarkan akal.
b.      Bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan fitrah manusia.
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pemikiran menyeluruh -akidah- yakni qoidah fikriyah (kaidah pemikiran) yang dijadikan landasan pemikiran-pemikiran oleh manusia dan melahirkan sistem peraturan hidupnya,  haruslah memenuhi dua syarat yaitu bersifat akliyah serta dibangun berdasarkan akal sehingga menghasilkan kepuasan akal; dan sesuai dengan fitrah manusia yang akan menghasilkan ketentraman hati. Itulah yang akan mengantarkan pada kebahagiaan manusia. Aqidah itu juga merupakan kaidah yang dijadikan titik tolak untuk merealisasikan kebangkitan masyarakat.
      Dengan demikian, kepuasan akal itulah yang dijadikan titik tolak oleh manusia untuk mengatur urusan-urusannya. Sedangkan kesesuaiannya dengan fitrah adalah faktor yang akan melahirkan ketentraman hati manusia.